Sabtu, 26 Februari 2011

Siapakah ? Kelompok Wahabi penyerang Tanah Batak ! (2)


Ini adalah foto Rumah Nabi Saw dan Sayyidah Khadijah as, tempat mereka berdua tinggal selama 28 tahun. Inilah bukti penghancuran yang dilakukan oleh Wahabi-Salafy terhadap situs-situs sejarah Islam.
Masuk abad ke-15, Majapahit dilanda perpecahan intern bahkan terjerumus dalam perang saudara. Banyak anggota monarki yang lari dari Jawa di antaranya Parameswara yang kelak membangun Kerajaan Malaka. Kelak kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Peristiwa ini merupakan periode menentukan bagi Asia Tenggara, kawasan ini masuk perioda kolonial, yang dampaknya masih ada hingga kini
Sejarah berulang di Indonesia, persekongkolan anti Islam terbentuk. Dawah Islam menghadapi dua front sekaligus: kekuatan pra Islam (tepatnya paganis) dengan salibis. Mirip dengan persekongkolan terselubung Bizantium-Persia melawan Muslim di Arabia pada abad ke-7 dan persekongkolan Eropa dengan Mongolia menghancurkan Kerajaan Abbasiyyah di Iraq pada abad ke-13.
Demak, yaitu negara Muslim pertama di Jawa mungkin sekaligus yang pertama menghadapi persekongkolan tersebut. Tersebut riwayat bahwa Majapahit mengirim utusan ke Malaka yang ketika itu sudah direbut Portugis. Di Jawa Barat, Kerajaan Pajajaran sudah membuat perjanjian yang mengizinkan Portugis memiliki pangkalan di Sunda Kelapa. Tiada pilihan selain melawan ketiga fihak tersebut sekaligus.
Ekspedisi Demak bergerak ke barat dan ke timur, ke barat hingga menyentuh Selat Sunda dan ke timur sejauh Pasuruan. Syarif Hidayatullah sukses mengunci pesisir utara Jawa Barat, yang merupakan incaran Portugis. Dari ketiga wilayah tersebut di atas Islam tersebar ke se antero Jawa Barat.
Ke arah timur ekspedisi dipimpin langsung oleh sultan sendiri, namun terjadi kericuhan dan sultan tewas. Peristiwa tersebut berakibat perang saudara yang mengakhiri kesultanan tersebut. Beberapa anggota keraton lari di antaranya ada yang membentuk Kesultanan Palembang.
Penulis tidak bermaksud mengisahkan dengan lengkap penyebaran Islam di Indonesia. Kisah di atas disajikan untuk memberi pemahaman kepada pembaca betapa berat dawah Islam di negeri ini. Dampaknya adalah dawah Islam di Indonesia adalah kerja yang tak kunjung rampung. Kaum Muslim tersebar hingga ke pelosok dan hal itu mempersulit da�wah demi pemahaman yang utuh dan tepat tentang Islam. Belum lagi hambatan dari manusia-manusia yang tak senang dengan dawah Islam, berakibat dawah menjadi ngos-ngosan: sangat menguras tenaga, waktu, harta bahkan nyawa.
Hubungan antara dunia Barat dengan Nusantara yang didominasi konflik militer sejak abad ke-16, dan baru berkurang pada awal abad ke-20, banyak merusak aset umat semisal pesantren dan masjid. Banyak ulama dan santri yang tewas, hilang atau ditangkap dengan akibat umat kehilangan pembimbing. Pemahaman dan tentu pengamalan agama yang masih sedikit membuka peluang percampuran dengan berbagai faham non Islam semisal syirik, bidah, taqlid dan khurafat. Ini menjadi tantangan berat bagi gerakan dawah yang menuntun ke pemahaman agama yang murni berdasar kitab dan sunnah hingga zaman kini.
Di bagian lain dunia Muslim keadaan nyaris tak berbeda. Penyimpangan dan perpecahan di dalam serta penjajahan dari luar berangsur-angsur merambah nyaris ke seantero dunia Muslim. Telah penulis jelaskan, faham yang menyimpang juga turut menghiasi Arabia, jantung dunia Muslim. Tepatlah hadits yang bernada ramalan nasib kaum Muslim disertai penyebabnya:
Kelak kalian akan jatuh hina, kalian bagai menu yang terhidang di meja yang diperebutkan oleh umat-umat lain. Para sahabat bertanya, Apakah karena jumlah kami sedikit ya rasul? Rasul menjawab, Tidak! Kamu bahkan banyak bagai buih di lautan namun kalian terjangkit al-wahnu. Tanya sahabat lagi, Apakah itu al-wahnu? Jawab rasul, Cinta dunia takut mati, Tuhan cabut rasa takut dari musuh-musuh kalian dan memberikannya kepada kalian.
Bagai buih di lautan merupakan sindiran bahwa kaum Muslim kelak menjadi banyak namun ringan, tegasnya tidak bermutu. Kaum Muslim menjadi umat terbelakang dan terpecah, mudah terombang-ambing oleh permainan musuhnya. Bagai menu yang terhidang di meja dan diperebutkan merupakan sindiran bahwa sebagian besar wilayah kaum Muslim kaya sumber alam, wilayah luas dan letak strategis, namun gagal mengelolanya. Hal tersebut mengundang nafsu musuh Islam untuk merebutnya.
Ketika kaum Muslim Indonesia berjuang melawan imperialis yang bersekongkol dengan paganis, dan berangsur-angsur merebut wilayah ini sepotong demi sepotong, hadirlah faham Wahhabi yang dibawa oleh orang-orang yang kebetulan sempat hadir di Haramayn ketika gerakan tersebut sedang panas-panasnya. Walaupun kelompok berfaham Wahhabi sulit diketahui jumlahnya, insya Allah penulis bahas dua kelompok saja dengan pertimbangan dampak dari gerakan mereka faham Wahhabi masih survive di Indonesia.
A. Gerakan Paderi
Benteng Fort de Kock di Bukittinggi (1826).
Gerakan ini tampil di Sumatera Barat diperkirakan pada awal abad ke-19, dibawa oleh beberapa orang ulama yang kembali dari menunaikan ibadah haji. Mereka konon menyaksikan sendiri kaum Wahhabi sempat merebut wilayah Haramayn, merusak situs-situs yang dikeramatkan atau melarang praktek syirik dan bid�ah dengan topeng ziarah. Mereka terkesan dengan faham Wahhabi dan mencoba membawa ke kampung halaman.
Islam diperkirakan masuk pada awal abad ke-7 di pesisir barat Sumatera, ketika itu sebagian besar umatnya mungkin masih perantau asing semisal Arab, Persia dan Keling. Sekitar abad ke-16 berangsur-angsur Kerajaan Aceh menaklukan pesisir barat sejauh Bengkulu, dengan demikian Islam juga terbawa oleh ekspedisi tersebut.
Pada awalnya konon Islam diterima oleh para tokoh masyarakat semisal datuk dan penghulu. Anggota istana Pagaruyung sekian lama masih bertahan dengan agama Hindu-Budha, hal tersebut sempat menampilkan selisih faham namun dapat diselesaikan dengan semacam kompromi: Yang Dipertuan Agung tetap dihormati secara seremonial atau adat namun kekuasaan yang sesungguhnya tersebar pada tokoh semacam datuk dan penghulu tadi. Belakangan keluarga istana juga menjadi Muslim namun (masih) campur aduk dengan faham non Islam.
Waktu berjalan terus, ulama-ulama tampil silih berganti semisal Syaikh Burhanuddin yang bermakam di Ulakan. Di sela-sela konflik dengan imperialis Barat, terdapat ketegangan antara ulama dan kaum adat dalam berebut pengaruh di masyarakat. Dengan demikian ada yang menilai bahwa Perang Paderi (1821-1837) minimal pada awalnya atau dasarnya� bukanlah perang agama namun perang antar umat beragama, kemudian diberi label atau kemasan agama supaya terkesan bagus.
Setahu penulis, perang agama hanya terdapat pada zaman (para) nabi. Terbilang jelas siapa mumin siapa kafir, perang tersebut dapat dinilai secara hitam-putih. Namun setelah itu agaknya lebih tepat disebut perang antar umat beragama karena motif-motif non agama turut campur.
Sebagai contoh, perang salib yang dikobarkan oleh Eropa terhadap kaum Muslim tidaklah murni bermotif agama, motif mencari keuntungan duniawi cukup menonjol. Para pesertanya bahkan termasuk para pendeta menilai bahwa wilayah Timur terutama Asia Barat dan Afrika Utara sangat strategis karena terletak di posisi silang jalur lalu lintas laut.
Mereka juga menilai bahwa dunia Timur jauh lebih makmur dan canggih dibanding Eropa, hal tersebut mereka ketahui dari rekan-rekan mereka yang berziarah ke Palestina, Suriah atau Mesir. Kita semua tahu bahwa wilayah tersebut juga terdapat tempat-tempat suci untuk kaum Nasrani, khususnya al-Quddus al-Syarif (Yerussalem). Ketika beberapa waktu mereka menetap di wilayah Muslim yang direbut, mereka berangsur-angsur berkurang fanatismenya dan pelan-pelan membina hubungan ekonomi dengan kaum Muslim.
Perang salib bukanlah perang yang terjadi tanpa henti namun justru ada bagian waktu yang cukup lapang perdamaiannya. Kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim hidup rukun. Hal tersebut dimanfaatkan banyak peserta perang salib untuk berdagang. Berangsur-angsur pula kaum Nasrani Eropa meniru gaya hidup Timur yang ketika itu jauh lebih beradab dibanding Barat.
Perang Paderi boleh dinilai sebagai puncak ketegangan atau konflik antara ulama dengan kaum adat. Aktivis Paderi menilai bahwa keislaman masyarakat Minangkabau terbilang jauh menyimpang dari kitab dan sunnah, mereka mencoba membawa masyarakat kembali ke rel-nya. Kebiasaan minum tuak, adu ayam dan isap candu cukup merata di wilayah tersebut.
Gerakan Paderi kelak menampilkan tokoh yang dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol (1775-1864). Dia memimpin gerakan tersebut hingga akhir perang walaupun bukan termasuk kelompok ulama yang pertama membawa faham Wahhabi tersebut di atas.
Mengenai istilah paderi ada dua macam pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari Pedir, kota pelabuhan di Aceh tempat singgah dalam perjalanan haji terutama dari Minangkabau. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut berasal dari kata Belanda priester atau juga padre yang sesungguhnya berarti pendeta atau tokoh agama dalam Nasrani. Ini mungkin disebabkan ketika itu belum ada terjemahan tepat dalam bahasa Belanda untuk istilah ulama.
Gerakan Paderi tampil ketika Minangkabau minimal secara teoritis berada dalam apa yang disebut interregnum Inggris (1795-1819). Dari pangkalan di bengkulu, Inggris mengambil wilayah jajahan Belanda di pesisir barat Sumatera sejauh Natal. Letnan Gubernur Jenderal Sir Stanford Thomas Raffles mencoba menjalin hubungan dengan gerakan tersebut, untuk mencegah pedalaman jatuh ke tangan Belanda. Harap diketahui, sejak Belanda tepatnya organisasi dagang VOC bercokol di Minangkabau sejak 1660 hingga 1795, hanya pesisir yang dikuasainya.
Raffles terkesan dengan Minangkabau, namun sadar bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah tersebut kepada Belanda setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan. Raffles berusaha supaya pedalaman berada di bawah Inggris. Usaha merangkul Paderi tersebut tidak berkelanjutan. Tanpa sadar, justru penjelajahan Raffles sejauh Simawang membuka jalan bagi Belanda kelak untuk merambah pedalaman. Ketika Belanda hadir kembali, benteng Simawang diambil Belanda karena berdasar perjanjian Belanda-Inggris perihal tukar menukar wilyah jajahan, wilayah tersebut adalah jajahan Inggris. Dari Simawang itulah, Belanda memulai perang dengan Paderi.
Selama interregnum tersebut, gerakan Paderi memanfaatkan peluang menaklukan pedalaman. Namun sayang, sikap keras yang dipraktekkan berakibat gerakan tersebut cukup punya banyak musuh. Tersebutlah riwayat, terjadi pertumpahan darah keluarga ningrat oleh aktivis Paderi. Yang lolos segera ke Padang dan minta perlindungan Belanda. Segera saja Belanda menyodorkan perjanjian penyerahan Minangkabau� dan disetujui oleh para pengungsi tersebut. Dengan perjanjian tersebut Belanda merasa sah menaklukan seluruh Minangkabau karena disetujui oleh apa yang dinilai sebagai �wakil rakyat.
Perlu diketahui pula bahwa Belanda yang dimaksud bukan lagi VOC, namun pemerintah Hindia Belanda dengan tetap mempertahankan jabatan gubernur jenderal- sebagai wakil Kerajaan Belanda di Nusantara. Sejak 1799 VOC dibubarkan, segala hutang piutangnya diambil alih pemerintah Belanda.
Perang Paderi berakhir dengan ditangkapnya Imam Bonjol saat berunding, setelah beberapa kali pindah tempat pengasingan dia wafat di Manado.
Gerakan Paderi telah ditumpas namun fahamnya tidak. Faham Wahhabi tetap hidup dengan nama lain semisal Kaum Muda. Berbagai organisasi intelek lain di Minangkabau muncul bagai jamur tumbuh di musim hujan pada awal abad ke-20, tidak hanya berasas agama, namun juga gerakan politik dan ekonomi untuk memberi pencerahan kepada rakyat, sedikit banyak terilhami dari gerakan Paderi.
Organisasi berfaham Wahhabi lain yang lahir di Jawa yaitu Muhammadiyah juga mendapat pengaruh kuat di Minangkabau. Jika sejak 1998 bangsa ini begitu mengenal gerakan reformasi yang sukses melengserkan (atau melongsorkan?) firaun Soeharto, maka hal tersebut sesungguhnya telah dimulai di Minangkabau. Gerakan Paderi bukan hanya berjuang mempertahankan nilai-nilai lama dari pengaruh buruk imperialis, namun juga membuka pencerahan atau cakrawala baru pemikiran untuk menjawab tantangan atau perubahan zaman yang memang memerlukan jawaban-jawaban baru pula. Sekadar contoh, konsep dawah dengan perbuatan (dawah bil haal) yang sempat populer disebut-sebut di Indonesia pada 1980-an ternyata telah dipraktekkan oleh gerakan Paderi. Memang, bukti (perbuatan) lebih meyakinkan dibanding janji (perkataan). Para mubaligh, dai atau apapun sebutannya perlu hadir langsung menjawab kebutuhan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan cuma ceramah atau khutbah. Tentang itu telah tersebut dalam hadits:
Jika kamu bertemu kemunkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tak mampu, ubah dengan lisan. Jika tak mampu, ubah dengan hati (rasa tidak setuju). Namun hal tersebut adalah selemah-lemah iman.
Gerakan Paderi juga berperan menyebarkan Islam ke Bengkulu, Jambi, Riau dan selatan Tapanuli. Niat untuk mengislamkan seluruh Tapanuli gagal karena pertahanan di Minangkabau diganggu Belanda, dan gerakan tersebut ditumpas.
Hasil dari perang tersebut adalah, masyarakat Miangkabau menempatkan minimal secara teoritis agama di atas budaya dengan rumus adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah. Kemaksiatan juga menurun drastis sekian lama setelah perang berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar