Sabtu, 26 Februari 2011

Siapakah ? Kelompok Wahabi penyerang Tanah Batak ! (1)

Pendahuluan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mencoba menganalisa fenomena yang tercipta oleh tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan "Tuanku Rao", betapa kejamnya Silom bonjol / Islam(Wahabi) yang bermazhab Hambali meluluh lantakkan tanah Batak khususnya Batak Toba. Banyak sudah pemikir-pemikir yang berkopeten dibidangnya mengulas tentang tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan, ada yang pro dan ada yang membantah kevalitan tulisan tersebut .
Terlepas dari itu semua saya mencoba menguraikan siapakah sebenarnya Wahabi yang dimaksud, Namun sebelumnya dibawah ini sekilas saya paparkan secara singkat isi daripada tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan tersebut:

Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.
Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti).
Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan
terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa
pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
GerakanWahabi di Indonesia

Perlu kita mengetahui perkembangan wahabi di Indonesia
SEKIAN lama kita disuguhi informasi dari penelitian kaum orientalis bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13, berpatokan pada fakta negara Muslim pertama muncul pada abad itu di Pasai, kini masuk Provinsi NAD. Ini suatu program terselubung imperialis Barat untuk mengecilkan peran Islam di Indonesia. Professor Hamka dalam Seminar Masuknya Islam di Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 bersamaan dengan agama tersebut masuk ke Cina. Walau pembentukan kekuasaan Muslim kemungkinan besar terjadi pada abad ke-13 namun hubungan antara penduduk Nusantara dengan perantau Muslim telah terjadi sejak abad ke-7.
Ini tak mengherankan, karena sejak awal Masehi telah terjadi hubungan antara dunia Barat dengan dunia Timur. Hubungan tersebut mencakup darat dan laut, jalur darat dikenal dengan sebutan Jalur Sutera, jalur panjang dari pesisir Laut Mediterania hingga kota Changan (kini Xian) di Cina. Adapun jalur laut terentang dari pesisir Laut Merah dan Teluk Persia hingga pesisir Laut Cina Selatan, terutama kota Kwangchou (Kanton atau Guangzhou).
Nusantara terletak pada posisi silang sehingga mustahil tertutup atau menutup diri dari lintas internasional beserta dampaknya. Para perantau asing singgah bahkan ada yang mukim di Nusantara, dengan demikian interaksi dengan pribumi terbentuk. Pribumi Nusantara yang notabene masih primitif- terkesan dengan peradaban yang dimiliki oleh para perantau tersebut. Bangsa Arab, Persia, Cina dan India telah memiliki peradaban canggih jauh sebelum berhubungan dengan Nusantara.
Agama adalah bentuk peradaban yang dibawa ke Nusantara. Pada awal hubungan tersebut, bangsa Cina telah mengenal agama Budha dan Konghucu, bangsa India dengan Hindu dan Budha, Persia dengan Zaratustra serta bangsa Arab dengan agama Hanif.
Walau kini kita mengenal Indonesia sebagai berpenduduk mayoritas Muslim, namun pengaruh kuat pertama sebagai hasil hubungan tersebut adalah Hindu dan Budha. Selama sekitar 1500 tahun kedua agama tersebut tampil dominan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hingga kini pengaruh India belum sepenuhnya lenyap walau Islam meraih mayoritas. Bahkan Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari peranan perantau India, mengingat Islam masuk ke India sejak abad ke-7 dengan cara perdagangan maupun penaklukan. Sejak itu berangsur-angsur kaum Muslim meraih kekuasaan meski minoritas di anak benua tersebut yang mencapai puncaknya pada masa Dinasti Mughal (1526-1858).
Para perantau menempati pemukiman pesisir dan berbaur dengan pribumi. Pada awalnya mereka hanya membahas soal dagang atau ekonomi, kemudian berangsur-angsur membahas yang lain semisal agama.
Sebagai hasil kontak tersebut sekitar abad ke-4 muncul pemerintahan atau tepatnya kerajaan di Nusantara. Adanya pemerintahan menunjukkan bahwa ada suatu keteraturan atau kestabilan tertentu dalam suatu kelompok dan itu termasuk ciri ada peradaban. Seseorang dipilih di antara sekian banyak orang untuk memimpin kelompok yang bersangkutan guna menjamin bahwa keteraturan masyarakat tetap lestari.
Pada awalnya kerajaan dimaksud muncul di Kalimantan dan Jawa, kita mengenal negara tersebut ialah Kutai dan Tarumanegara. Beberapa bukti tertulis dari periode tersebut ada yang sampai kepada zaman kita, yang menunjukan pengaruh dominan dari India. Sejak itu berbagai kerajaan dan peradaban silih berganti tampil di Nusantara. Periode awal tarikh Masehi hingga abad ke-16 sering dinilai sebagai masa klasik Indonesia, mengingat konsep ideal kehidupan yang didamba oleh bangsa Indonesia semisal masyarakat adil dan makmur dan gemah ripah loh jinawi sempat hadir relatif lama pada periode tersebut. Periode ini cenderung dijadikan acuan dalam zaman kini, terlebih dua negara besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit tercakup di dalamnya. Kedua negara tersebut dinilai sebagai puncak capaian prestasi kemanusiaan yang pernah diraih Indonesia.
Waktu berjalan terus, ketika bangsa Arab, Persia dan (sebagian India) masuk Islam maka agama tersebut terbawa ke Nusantara. Mereka meraih simpati warga karena kejujuran dan kebersihannya, minimal wudhu lima kali dan mandi dua kali dalam sehari, berbeda kelak dengan para pendatang dari Eropa pada abad ke-16. Namun hubungan baik tersebut tidak serta merta merangkul pribumi menjadi Muslim secara massal. Rakyat masih terikat dengan rajanya, yang dianggap sebagai tuhan, setengah tuhan atau minimal wakil tuhan. Dengan demikian kelompok Muslim masih terpusat di kota-kota pesisir, sangat sedikit yang menjangkau pedalaman.
Mengingat begitu kuat pengaruh Hindu, Budha dan kepercayaan asli masyarakat Nusantara, para penyebar agama Islam dituntut cermat mencari persaman antara Islam dengan berbagai faham anutan masyarakat, bahkan sadar tak sadar cenderung mencampur adukkan antara Islam dengan faham lainnya. Bagi yang sadar melakukannya, mereka niatkan tidak untuk selamanya namun hanya merupakan proses menuju keislaman yang sejati. Misalnya, selamatan sekian hari untuk si mati dengan kumpul-kumpul di rumah duka dibiarkan berlangsung (untuk sementara) namun mantera diganti doa. Dalam hal arsitektur masjid, mereka tidak serta merta meniru arsitektur Arab namun masih mempertahankan arsitektur Hindu-Budha sejauh tidak menjurus kepada politeisme semisal memasang arca-arca.

Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa faham-faham non Islam yang masih dipertahankan untuk sementara ternyata menjadi berkepanjangan, di luar perkiraan para juru dawah. Kelak sebagai akibat begitu kuatnya pengaruh pra Islam di Nusantara, serta hambatan dawah karena konflik dengan imperialisme Barat, menghasilkan dawah yang tak kunjung rampung dan keislaman yang tak murni, hingga saat ini.
Kesulitan memperkenalkan Islam secara murni berdasar kitab dan sunnah makin bertambah ketika bergerak menuju pedalaman. Hingga saat ini masih terasa perbedaan antara masyarakat pesisir dengan pedalaman, walau pengaruh luar lebih mudah masuk akibat kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Kehidupan pesisir cenderung dinamis karena terbuka terhadap pengaruh luar, adapun pedalaman cenderung statis karena pengaruh luar cenderung terhambat oleh rintangan alam semisal gunung, hutan, sungai atau hewan buas.
Rintangan manusia dapat berbentuk perampokan atau sikap masyarakat yang sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan tatanan lama. Untuk itu para juru dawah cenderung dituntut tidak sekadar hafal ayat dan hadits atau berperilaku shalih namun juga harus memiliki berbagai ilmu yang tak lazim beredar di ranah publik, yang lazim dikenal dengan kesaktian atau kekeramatan. Gunanya untuk meyakinkan masyarakat yang dihadapi akan kebenaran atau mutu agama yang dibawanya. Orang-orang demikian lazim disebut wali atau awliya dan shufiy. Dalam sejarah kita, terdapat 9 orang wali yang berperan mengislamkan tanah Jawa dengan sebutan Walisongo. Mereka berusaha menyebarkan Islam dengan benturan sesedikit mungkin dengan faham lama masyarakat.
Masuk abad ke-13 terjadi perubahan menentukan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara: Sriwijaya runtuh dan Majapahit tampil. Hasrat mempersatukan, atau lebih tepat penaklukan, Asia Tenggara dilaksanakan relatif lebih sukses dibanding Sriwijaya. Wilayah taklukan Majapahit bukan hanya mencakup bekas wilayah Sriwijaya namun juga di luarnya. Puncak prestasi imperium ini terjadi pada abad ke-14 karena memiliki tokoh kuat yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Dengan demikian kota-kota pesisir di mana kaum Muslim bermukim juga di bawah kuasa Majapahit.
Menjelang Majapahit lahir, di sudut utara Sumatera telah terdapat kekuasaan Muslim yang dikenal dengan Kerajaan Samudera Pasai. Posisinya strategis karena tepat terletak di jalur lintas internasional: Selat Malaka! Banyak perantau asing yang mukim dan terjadilah percampuran yang menjadi cikal bakal suku Aceh kini. Hingga kini kita masih menjumpai wajah-wajah mirip Arab, Keling, Cina dan Eropa di provinsi tersebut. Tidaklah berlebihan jika ada yang menyebut Aceh adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, Hindustan.
Kerajaan ini tidak sempat menikmati masa jaya berlama-lama, pasukan Majapahit merebutnya pada abad ke-14 dan pada abad ke-15 tersaingi oleh Kesultanan Malaka (1400-1511). Penaklukan oleh Portugis mengakhiri riwayatnya pada 1521, namun peran negara ini bagi dawah Islam tak dapat diremehkan. Beberapa ulama Pasai bahkan merintis kekuasaan Muslim di Jawa, yang sering disebut adalah Syarif Hidayatullah. Dia menjadi tokoh penting dalam Kerajaan Demak dan kelak menjadi leluhur raja-raja Banten, Jayakarta dan Cirebon.
Bersambung -------2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar