Sabtu, 26 Februari 2011

DINASTI FATIMIAH (297 H - 322 H / 910 M - 934 M)


Dinasti ini berhubungan dengan pengembangan Islam di Indonesia, dan dinasti ini bermazhab Syiah, dan setelah dinasti ini , muncul seorang tokoh Islam yang sangat terkenal yakni Salahuddin, yang cukup populer baik di dunia timur dan dunia Barat dan beliau adalah tokoh Perang Salib.
A. PENDAHULUAN
Dinasti Fatimiah merupakan sebuah dinasti yang didirikan di benua Afrika pada penghujung tahung 200 san Hijriah atau sekitar tahun 910 Masehi, dinasti ini berpahaman syiah, dari permulaan pembentukannya dinasti ini bertujuan untuk menjalankan ideologi syiah dan ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah Abbasiah di Baghdad yang berideologi Sunnah.
Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Dinataranya Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), Dinasti Ghazwani, di barat Baghdad ada Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M).
Pada akhir tahun 200 san Hijriah negara dunia Islam di pimpin oleh 3 khalifah besar yaitu Khalifah Abbasiah di Baghdad, Khalifah Umawiyah di Qurdova Spanyol dan khalifah Fatimiah di Mesir, kondisi seperti ini membuat Daulah Islamiyah agak lemah, hal ini terlihat kaum Salip telah merebut bebrapa Negara Islam seperti Palestin pada sekitar tahun 450 H.
Ketika Dinasti Buwaih (320 H – 447 H / 932 M – 1055 M) menguasai Bagdad maka Daulah Fatimiah di Maroko semakin kuat bahkan mereka berkeinginan untuk menaklukan Mesir, hal ini di karenakan keluarga istana Buwaih lebih cenderung ke ideologi syiah dan menganggap bani Abbas telah merebut jabatan kekhalifahan dari tangan mereka.
Semenjak dilantik bani Umaiyah sebagai khalifah kemudian di ikuti dengan Bani Abbas maka banyak sekali pengikut syiah berlarian ketimur, barat dan ke berbagai Negara Islam untuk menyelamat diri dari hal-hal yang tidak diinginkan, sebahagiannya mereka pergi ke Maroko, Mesir dan menetap disana.
Setelah lama menetap di negara pelariannya, kaum Syiah mulai meyebarkan pengaruhnya melalui ideologi yang mereka bawa, sehingga mereka mempunyai kumpulan tersendiri sebagaimana penduduk tempatan yang kebanyakannya kaum Sunni. Di Maroko kumpulan ini di kenal dengan Idrisiah yang kemudiannya berhasil mendirikan Daulah Idrisiah (175H – 375H / 792 M – 889 M). namun mereka tidak menamakan pemimpinnya sebagai Khalifah.
B. PEMBAHASAN
1. Pembentukan Daulah Fatimiah2 (297 H – 322 H / 910 M – 934 M)
Dinasti Fatimiah didirikan oleh Ubaidillah Al Mahdi Abu Muhammad, beliau di lantik pada tahun 297 di Qairawan3 Maroko. Nama lengkapnya Ubaidillah, beliau bermazhab Syiah Isma'iliyah4 berasal dari Irak, dilahirkan di Kuffah tahun 260 H / 874 M. Pribadinya agak bermasalah dan tidak konsisten dalam pengamalan agama5, namun ada juga yang memujinya6. Daulah Fatimiah ini pada mulanya berpusat di Maroko kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum pembentukan daulah, orang-orang syiah melakukan seruan secara rahasia dan mengajak masyarakat untuk mengangkat seorang khalifah yang mereka beritakan berasal dari keturunan Ja'far Shadiq cucu Ali bin Abi Thalib tetapi kebanyakan golongan sunni meragui garis keturunan Ubaidillah Al Mahdi berasal dari keturunan Ali bin Abi Tahlib7, mereka mengatakan bahwa khalifah yang sebenarnya dan yang berhak memerintah Daulah Islamiayh adalah Ubaidillah Al Mahdi dari keturunan Ali bin Abi Tahlib, seruan ini akhirnya meraih kemenangan, oleh sebab itu mereka menamakan pemerintahan tersebut sebagai Daulah Fatimiah sebagai sandaran kepada fatimah binti Muhammad Saw .
2. Daulah Fatimiah Di Maroko
Ketika Ubaidillah Al Mahdi sampai di Maroko kelompok syiah Idrisiah langsung menyambutnya dan membaiat sebagai khalifah dengan ibu kotanya Al Manshuriah. Pada tanggal 4 rabiul Akhir tahun 298 H / 911 M pengumuman pendirian Daulah Fatimiah dibuat diatas mimbar sebagai bertanda berakhirnya Daulah Aghlabiah8 (184 H-296 H / 800 M-908 M), di Negara tersebut dan Ubaidillah Al Mahdi digelar Amirul Mukminin.
Daulah Fatimiah bertahan di Maroko selam 24 tahun yang di pimpin oleh 4 orang khalifah yaitu :
1.Al Mahdi Ubaidillah di Maroko pada tahun 297 H - 322 H.
2.Al Qaim bi Amrillah Muhammad pada tahun 322 H - 323 H
3.Al Manshur Ismail pada tahun 233 H – 341 H.
4.Al Muiz linillah pada tahun 341 H – 362 H.
Namun Al Muiz linillah tidak menetap lama di negara tesebut kerena berpindah ke Mesir atas alasan keamanan
3. Daulah Fatimiah Di Mesir
Semenjak permulaan Islam orang-orang Mesir sangat menyukai Ali bin Abi Thalib. Ini dibuktikan dengan sikap mereka yang berada di pihak Ali ketika peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan. Maka tidak heran sebahagian penduduknya agak condong kearah pemikiran syiah. Hal ini mengikut irama perkembangan zaman, jika pemerintah mereka dipimpin oleh orang syiah maka kekuatan syiah di masyarakat semakin kuat dan begitulah sebaliknya. Kaum syiah berada di Mesir sebelum berdirinya daulah Fatimiah9.
Ketika Daulah Abbasiah di Baghdad di kuasai oleh bani Buwaih yang agak loyal ke pemahaman syiah, maka pemahaman syiah di mesir mulai mendapat angin segar di kalangan masyarakat. Keadaan seperti ini menjadi modal dasar bagi Al Mu'iz Lidinillah membentuk daulah Fatimiah yang saat itu masih dikuasaai oleh Bani Thulun10.
4. Penaklukan Mesir
Upaya untuk menakluki Mesir sudah dimulai semenjak tahun 301 H / 913 M namun masih gagal tetapi pada tahun 358 H / 969 M Al Mu'iz Lidinillah menyiapkan 100.000 pasukan bahkan lebih, termasuk pasukan berkuda dan kapal laut, pasukan yang dikomandoi oleh Jauhar Siqli langsung menuju Iskandariah tanpa perlawanan penduduk tempatan. Ketika hal ini diketahui oleh orang-orang Fusthath, mereka mengirim utusan untuk diadakan negosiasi damai dengan panglima Jauhar Siqli, akhirnya panglima berjanji bahwa setiap orang Mesir bebas mengamalkan keyakinan agama dan mazhab mereka masing-masing dan berjanji akan memberikan keadilan dan perbaikan melalui kutipan pajak.
Sesudah itu panglima Jauhar Siqli membuat persiapan untuk mendirikan Daulah Fatimiah dengan membuat penempatan tentara dan keperluan lainnya termasuk mendirikan Masjid yang kemudiannya dikembangkan menjadi universitas Al Azhar.
Setelah keadaan agak tenang panglima Jauhar Siqli meminta pada khalifah Al Mu'iz Lidinillah untuk segera datang ke Mesir11 dengan ibu kotanya Kairo12 pada tahun 361 H13. Seiring dengan itu diaturlah strategi pemerintahan yang lebih loyal ke arah syiah serta memperbaiki ekonomi Mesir yang saat itu agak bermasalah, lalu Al Mu'iz Lidinillah membuat peraturan tentang perpajakan dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, keadaan ini membuat rakyat agak senang walau dalam kebijakan keagamaan terdapat banyak kontroversi. Maka mulailah aliran syiah di taburkan dengan leluasa dan dihilangkannya pengaruh Abbasiah yang sunni.
Daulah Fatimiah di Mesir bertahan hingga 11 khalifah dari pembentukannya tahun 297 H hingga masa keruntuhannya pada tahun 567 H. sebagai mana kutipan berikut:
1.Al Muiz linillah Maad mulai tahun 362 H – 365 H.
2.Al Aziz Nazzar hingga 365 H – 386 H.
3.Al Hakim bi Amrillah Manshur hingga 386 H – 411 H.
4.Azh zhahir li I'zaz dinillah hingga 411 H – 428 H
5.Al Mustanshir Maad hingga 428 H – 487 H
6.Al Musta'li Billah Ahmad hingga 487 H – 495 H
7.Al Amir Bi Ahkamillah Manshur 495 H – 524 H
8.Al hafizh lidinillah Abdullah 524 H – 544 H
9.Azh Zhafir billah Ismail 544 H – 549 H
10.Al Faiz Billah Ismail 549 H – 555 H
11.Al adhid lidinillah Abdullah Yusuf 555 H – 567 H14
5. Daerah Kekuasaan Daulah Fatimiah
Daerah Kekuasaannya di Afrika meliputi Maroko, Tunisia, Mesir, di Asia meliputi Syiria, Yordania, Hijaj15. Ada pendapat yang mengatakan kekuasaannya juga meliputi Mekah, Madinah namun penulis belum menemukan data sejarah tentang hal tersebut. Untuk lebih jelasnya silakan lihat peta di bawah ini yang penulis download dari web: www.islamonline.net.
Peta Perbatasan Daulah Fatimiah
6. Keruntuhan Daulah Fatimiah
Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin Shirkuh16 membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besarnya Shawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Shawar pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.
Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raja Almeric dari Jerussalem menerima permintaan tersebut. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin Shirkuh dengan Raja Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin Shirkuh.
Setelah menerima syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin diperbolehkan pulang ke Damsyik. Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan raja Nuruddin Zanki17 dan para pemimpin Islam lainnya termasuk raja Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentara besar yang tetap dipimpin oleh panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar.
Panglima Asasuddin Shirkuh dan Shalahuddin mulai maju ke ibu kota Kairo dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke makam orang shaleh di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap dan dibawanya ke istana untuk dihukum mati.
7. Sebab-Sebab Kehancuran Daulah Fatimiyah
Banyak sekali sebab-sebab yang membawa hancurnya Daulah fatimiah di Mesir, namun penulis hanya menyebutnya beberapa sebab penting saja, seperti berikut:
a)Penyerangan yang dilakukan oleh Salahuddin Al Ayubi telah membawa Daulah fatimiah tutup buku, sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas.
b)Munculnya ulama-ulama besar seperti Abu Ishaq Asy Syairazi, Ibnu Jauzi dan lain-lain dalam memberi peringatan tentang bahaya ideologi Syiah18
c)Kembali Khilafah Abbasiah berpegang pada Al Qur'an dan Sunnah dimana sebelumnya yang berkuasa adalah Dinasti Buwaih berfaham Syiah (320 H – 447 H).19
d)Perlawanan masyarakat Mesir yang semakin meluas terhadap ajaran Syiah yang di bawa oleh Daulah Fatimiah20
e)Khilafah Abbasiah Al Qadir billah Amirul Mukminin pada tahun 480 H meminta Fuaqaha' Mukatazilah bertaubat dan melarang mereka mempelajari hal-hal yang bertentangan dengan Islam, termasuk juga melarang masyarakat berideologi seperti Syiah serta menjauhkan diri dari perbuatan bid'ah21
f)Penangkapan pengikut Syiah, Qaramithah dan di umumkan diatas mimbar tentang kesesatan pahaman tersebut22
g)Seruan dan taktik yang di buat oleh khalifah semakin membuat bani Buwaih tertekan dan lemah, sehingga membuat kekuatan Syiah berada pada taraf yang sangat lemah23
8. Politik Daulah Fatimiah
Pemahaman syiah pada masa Daulah Fatimiah sangatlah kental terlihat dalam kebijakan politik kenegaraannya, mereka menguatkan pendapat yang sesuia dengan mazhab syiah dan mendahulukan pengamalan agama dengan mengikut pendapat para imamnya dari pendapat para imam sunni, walaupun kebanyakan penduduk Mesir Saat itu bermazhab sunnah.
Ya'qub bin Kalas seorang wazir24 pada pemerintahan Fatimiah menyusun sebuah kitab fiqh25 yang disusun berdasarkan mazhab Syiah Isma'iliyah26 dengan arahan langsung khalifah Al Mu'iz Lidinillah yang berkuasa saat itu. Kitab ini dijadikan sebagai pedoman dalam memustuskan perkara di pengadilan dan fatwa lainnya. Sehingga siapa saja yang menjadi qadhi mesti berpodoman pada kitab ini.
Al Mu'iz Lidinillah memerintahkan bawahannya agar di buat rumah khusus disamping universitas Al Azhar untuk pelatihan dalam rangka memahami kitab tersebut. Wazirnya di perintahkan untuk mendatangkan para fuqaha' yang saat itu berjumlah 35 orang kemudian di beri fasilitas dan gaji yang mencukupi27, bukan hanya itu para fuqaha' juga di sediakan tunjangan hari raya dan fasilitas di istana untuk tujuan mengajarkan kitab tersebut kepada masyarakat. Semua itu sebagai motivasi kepada para du'ah yang memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai kitab tersebut dan seluruh biaya tersebut di tanggung oleh khalifah. Sebab khalifah tau bahwa pemerintahannya akan bertahan lama jika ilmu tersebut disebarkan pada masyarakat28.
9. Kemajuan Pada Masa Daulah Fatimiah
Diantara kemajuan yang dicapai Daulah Fatimiah seperti berikut:
a) Bidang kebudayaan dan Keagamaan
Menjadikan mesjid sebagai tempat pendidikan agama walaupun yang dimaksud untuk mengembangkan ideology mereka. Ada sebuah mesjid yang yang kemudiannya menjadi universitas Al Azhar. Khalifah juga membiayai para fuqaha dan du'ah yang menyebarkan ilmu pengetahuan. Hai ini membuktikan bahwa khalifah mencintai ilmu dan suka pada kemajuan.
b) Universitas Islam Al Azhar Kairo
Jami Al Azhar didirikan bersamaan dengan masuknya kekuasaan Fatimiyin di Kairo, tepatnya setelah beberapa bulan kekuatan fatimiyin memasuki Kairo, pembangunan jami Al Azhar memakan waktu kurang lebih dua tahun, yang kemudian dibuka secara resmi oleh Jauhar al Shaqali29 dengan shalat jumat pada tanggal 7 Ramadhan 361 H / 21 Juni 972 M. Sedang Al Muiz Lidinillah baru datang dari Maroko masuk Kairo setahun kemudian.
Jami Al Azhar mempunyai penghargaan tersendiri dari para khalifah fatimiyin, dibalik itu mereka ingin menjadikannya markas penyebaran faham syiah. Di sekitarnya dibangun rumah bagi mereka yang mengajar pada Al azhar, dari sinilah dimulainya pengajaran di jami Al Azhar.
Dalam blantika dunia keilmuan, Al Azhar merupakan universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun di seluruh dunia. Karena universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qarawain di Kota Fas Maroko, bahkan ada yang mengatakan bahwa Jami Al Qarawain adalah Universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak didirikannya yaitu sejak tahun 245 H/ 859 M. dan sampai sekarang masih eksis.
Al Azhar merupakan Univesitas pertama yang para pengajarnya didanai oleh negara, serta posisi Mesir yang strategis di tengah dunia Islam, menjadikan Al Azhar tempat tujuan menimba ilmu agama dari para masyayikhnya, hanya saja besarnya kedudukan Al Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, namun karena mutunya yang unggul.
Dalam kekuasaan daulah Fatimiah Jami Al Azhar mengalami beberapa kali renovasi, seperti pada masa al Hakim Biamrillah, al Mustanshir Billah, dan Al Hafidz Lidinillah. Terlihat hingga sekarang hasil renovasi yang dilakukan oleh Al Hafidz Lidinillah dengan peninggalannya qubah yang dihiasi dengan tulisan ayat-ayat Al Quran dengan khath kufi dan bermacam-macam hiasan yang indah.
Kekuasaan khilafah fathimiyah berakhir dengan khalifahnya Al Adhid Lidinillah, setelah meniggalnya khalifah Al Adhid Lidinillah tahun 567 H/ 12 September 1171 M, Shalahuddin Al Ayyubi ( wazirnya ) memegang tampuk kekuasaan Mesir, dari sinilah berakhirnya kekuasaan fathimiyin di Mesir dan mulai berkuasanya Keluarga Ayyubiyyin. Pada masa Shalahuddin, dihapuslah madzhab syiah dari Mesir dan diganti dengan madzhab sunni.
c) Bidang Syair
Melahirkan beberapa orang yang pakar dalam syair seperti Ibnu Hani', Abu Abdullah Muhammad bin Abi Jarah, Abdul Wahab bin Nashir Al Maliki, Abu Abbas Ahmad bin Mufrij, Imarah Yamani
d) Bidang Prosa
Melahirkan beberapa kitab terkenal seperti Al A'kdul Farid oleh Ibnu Abdi Rabbihi w. 328H, kitab Al Aghani oleh Abi Al Faraj Al Ashfihani w. 356H, Rasail oleh badi'uzzaman Al Hamzani w. 398H.
e) Bidang Sastra
Kitab Yatimah Ad Dahri oleh Abu Manshur As Sa'alabi w.429H, kitab Saqthu Azh Zhand, Al Luzumiyat oleh Abu Ula Al Ma'kri w.449.
Ibnu Sina30 Filosof terkenal diantara kitab dalam ilmu kedoktoran, logika, filsafat31
Beliau pengikut setia syiah yang memerintah
f) Bidang Filsafah
Melahirkan beberapa filosof terkenal sperti Abu Al Hatim Ar Razi,Abu Abdullah An Nusfi, Abu Yakqub As sajazi, Abu Hanifah Nukman Al Maghribi, Jakfar bin Manshur Al Yamani, hamiduddin al Karmani, Al Muayyid fi dinillah Asy Syairazi.
g) Bidang Kedoktoran
Abu Hasan Ali bin Ridwan
h) Bidang Matematika
Abu Ali Muhammad bin Hasan bin Haisam
i) Bidang Sejarah
Abu Hasan Ali Syabasyti, Abu Shaleh Armani, Muhammad bin Abu Qasim Al Masbaji, Usamah bin Munqiz.
10. Lembaran hitam Daulah Fatimiah
a)Pada permulaan ketadangan ke Maroko Khalifah Ubaidillah Al Mahdi di gambar sebagai Imam mahdi yang di tunggu-tunggu, hal ini banyak sekali memberi pengaruh positif dari masyarakat terhadap dirinya, namun klaimnya sebagai imam mahdi tidak terbukti.
b)Tahun 372 Daulah Fatimiah meniadakan shalat terawih semua daerah di Mesir. Namun kemudiannya di izinkan lagi setelah terjadi perselisihan32.
c)Tahun 381 Daulah Fatimiah menghukum orang yang kedapatan kitab Muatha' Imam Malik
d)Tahun 391 Daulah Fatimiah menangkap dan di kurung orang yang ketika di tanya tentang Ali bin Abi Thalib tetapi ia menjawab tidak tahu.
e)Tahun 393 Daulah Fatimiah memukul dan mengurung selama 3 hari karena mereka shalat dhuha.
f)Tahun 400 san banyak sekali pembunuhan para ulama dan orang shaleh33.
g)Tahun 564 Daulah Fatimiah mengubah kebijakan dengan mendirikan madrasah untuk mazhab Syafi'i dan Maliki serta mengalihkan dari syiah kepada sunnah yang saat itu kebanyakannya bermazhab Syafi'i dan Maliki, sedangkan mazhab syiah masih berjalan namun secara sembunyi-sembunyi34.
C.PENUTUP
Jika kita menelusuri sejarah tentang Daulah Fatimiah maka kita akan menemukan 2 pendapat yang berbeda dalam cara melihatnya, yang pertama di wakili oleh Syiah dan yang kedua oleh Sunnah, orang syi'i yakin daulah ini membawa keadilan dan kemakmuran sedangkan orang Sunni melihat daulah ini membawa petaka dan keburukan. Hal ini terlihat dengan dalam kedua kitab kelompok tersebut yang saling memuji dan mencaci, sebagai contoh penamaan daulah ini dimana kelompok syiah menyebut dengan nama Daulah Fatimiah sedangkan kelompok sunnah menamakan Daulah Ubaidiah sebab orang Sunni menganggap tidak saheh silsilah keturunan Ubaidillah Al Mahdi sebagi pendiri daulah tersebut.
Setelah kita menelusuri sejarah Dinasti Fatimiah mulai dari masa pendirinya Ubaidillah Al Mahdi sehingga masa Al Adhidh, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Ninasti Fatimiah ini merupakan dinasti pertama dalam Islam yang mengembangkan hal-hal yang baru dalam Islam35 seperti perayaan maulid Nabi Muhammad Saw, Maulid Ali, Hasan, Husen, juga perayaan nisfu sya'ban, israk mikraj, tahun baru, akhir tahun, perayaan Karbala dan sebagainya.
Masa ketika Dinasti Fatimiah berkuasa merupakan masa ditengah pesatnya berkembang berbagai aliran Kebathinan, Syiah dan Muktazilah, maka tidak heran jika saat itu umat Islam terpecah belah dan dengan beraninya membuat daulah sendiri menurut pemikiran yang mereka yakini. Oleh itu lahirlah berbagai dinasti-dinasti kecil di timur dan di barat Baghdad sebagai mana penulis sebutkan pada pendahuluan dan yang paling merugikan umat Islam ketika itu adalah direbutnya Baitul Maqdis Kiblat pertama umat Islam oleh tentara Salib.
Setelah khilafah Abbasiah kembali berpegang pada Al Qur'an dan Sunnah serta mengikuti jejak Salafus Shaleh maka umat Islam kembali bangkit dan dapat menyatukan negeri-negeri yang sebelumnya memisahkan diri sekalipun tidak semuanya dapat disatukan sebagaimana sebelumnya berada di bawah satu khilafah. Hal ini membuktikan bahwa sejarah umat Islam akan jaya jika mereka berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah, sejauh mana umat Islam berpegang pada keduanya sejauh itulah kejayaan akan mereka peroleh.
D.DAFTAR PUSTAKA
As Sayuthi, Tarikh Kulafa, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Cetakan Sa'adah Mesir: tahun 1952 M
Ali Muhammad Ash Shalabi, Dr, Daulah Fatimiah, http://slaaby.com/
Az Zahabi, Sirrun Nubala' Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Az Zahabi, Sirru Aklamin Nubala', Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Az Zahabi, Tarikhul Islam, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Ibnu Asir, Al Kamil Fit Tarikh, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Ibu Khaldun, Tarikh Ibu Khaldun, cetakan Bairut Lubnan, tanpa tahun.
Ibnu Katsir, Bidayah wan Nihayah, Cetakan Darul Ihya At Turas Al Arabi, tanpa tahun
Ibnu Jauzi, Al Muntazam, Darus Shadir Bairut, tahun 1358 H.
Ibnu Qaim Al Jauziah, Ighasul Lahfan, , Tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, Cetakan Darul Makrifah Bairut: tahun 1975 M.
Ibnu Thawus, An Nujum Adhahirah Fi Muluki Mirsa wal Qahirah, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Mir'atur Jinan, Abu Muhammad Al Yamani Al Yafi'i, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Maqrizi, Al Mawaizh wal Iktibar, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2
Maqrizi, Ittiazhul Hunafa' bi Akhbaril A'immatil Fatimiyin, Tahqiq Jmaluddin Syial dan Muhammad Hilmi, Cetakan Al Majlisul Akla Lisy Syu'unil Islamiyah Kairo: tahun 1993.
Al Wafi Fil Wafiat, Maktabah Syamilah, cetakan ke 2

Akar Kekerasan atas Nama Islam

Khawarij dan Akar Kekerasan atas Nama Islam

Satu lagi karakter penting yang dimiliki "perang Islam" adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari pertumpahan darah dalam menyelesaikan segala permasalahan. Jika dapat dilakukan, sedapat mungkin dialog dan gencatan senjata diutamakan meskipun potensi kecurangan dan pengkhianatan atas suatu kesepakatan selalu saja ada.

Dalam diskursus mengenai terorisme dan Islam yang marak belakangan ini, satu hal yang selalu ada dan menarik diperhatikan adalah analisis keterkaitan ideologis antara para pelaku teror dengan Khawarij. Disebut nama ini, umat Islam akan mengingat kembali peristiwa "fitnah besar" (al-fitnah al-kubra) yang terjadi antara 656 hingga 661 M -salah satu periode terkelam dalam sejarah Islam. Bukan hanya kerena terjadinya pertumpahan darah antar-Muslim tetapi hura-hara politik tersebut melahirkan sebuah sekte, yang dikenal dengan sebutan Khawarij ('kaum yang keluar', bentuk jamak dari khârijî).

Aroma keterkaitan "teror suci" versi al-Qaeda dengan ideologi kaum Khawarij teramat sulit untuk diabaikan karena pandangan-dunia keduanya saling berhimpit dalam banyak hal, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Khawarij memunculkan keyakinan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar (al-kabâir) adalah keluar dari Islam (murtad). Dengan keyakinan ini, mereka telah memulai kebiasaan buruk "kafir- mengafirkan" di kalangan Muslim yang berujung pada penghalalan darah atas jiwa-jiwa yang diharamkan (penumpahan darahnya) oleh Allah tanpa hak. Banyak dicatat dalam literatur sejarah bagaimana Khawarij mempraktikkan isti'râdh, semacam penyelidikan atas keyakinan Muslim non-Khawarij. Orang-orang yang tidak lolos dari isti'râdh ini lantas dipandang kafir dan halal darah mareka. Penumpahan darah atas orang-orang seperti ini pun banyak terjadi, tak terkecuali terhadap perempuan dan anak-anak karena Khawarij
memandang anak-anak kaum kafir adalah terkutuk bersama orangtuanya.

Perhatikan bagaimana para terpidana mati Bom Bali I, seperti Imam Samudra dan Ali Ghufron, tidak merasa bersalah telah membunuh ratusan jiwa secara sewenang-wenang. Mereka menganggap para korban tindakan sadis mereka hanya sebagai ekses dari sebuah perjuangan. Besar kemungkinan, mereka meyakini para korban sebagai para pendosa yang darahnya halal ditumpahkan. Faktor keyakinan ini pulalah yang tampaknya dapat menjelaskan mengapa sebagian besar target teror sejak peristiwa 9/11 adalah lokasi-lokasi plesiran -tempat di mana dosa sudah dipandang biasa.

Keyakinan yang dipopulerkan Khawarij ini sama sekali tidak memiliki preseden di masa Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib dalam khotbah yang ditujukan kepada Khawarij pernah berkata, "Anda tahu bahwa Nabi... memotong (tangan) para pencuri dan mencambuki para pezina yang tak terlindung (yang belum menikah), tetapi setelah itu mengizinkan bagian mereka dari pampasan (perang) dan hak mereka untuk menikahi perempuan Muslim. Jadi, Nabi menuntut mereka bertanggung jawab atas dosa mereka tetapi tidak melarang mereka atas hak mereka yang diberikan Islam, tidak pula menyingkirkan nama mereka dari para pengikutnya (tidak memandang mereka murtad dan kafir)." (Nahj al-Balâghah, edisi Indonesia (Penerbit Lentera), khotbah no. 126)

Kedua, akibat dari keyakinan di atas, Khawarij adalah kaum yang anti-dialog.
Bagi mereka, beradu argumentasi dengan orang-orang yang telah diyakini kekafirannya adalah sia-sia. "Tidak ada hakim kecuali Allah" -yang menjadi slogan mereka- benar-benar menjadi alat ampuh untuk menolak potensi kebenaran dari pihak lain. Ali bin Abi Thalib, sahabat terkemuka Nabi, pernah merasakan
kekerasan hati tersebut setelah upayanya berkali-kali untuk berdialog dimentahkan Khawarij hingga pecahlah Perang Nahrawan. Coba bandingkan dengan Ali Ghufron yang menolak tafsir lain atas kata jihâd yang bermakna bukan sekedar perang. Kebenaran arti jihad dengan hanya berartikan perang, rupaya telah final baginya. "Jihad itu artinya perang, tidak ada (arti) yang lain," tegasnya dalam sebuah tayangan televisi.

Ketiga, Khawarij telah memelopori lahirnya "Islam perang" sebagai lawan dari "perang Islam". Istilah pertama mengacu kepada gerakan Islam yang telah menjadikan perang bukan lagi sebagai metode tetapi sudah menjadi tujuan itu sendiri.

Karakter gerakan ini adalah ofensif dan anarkis. Sifat ofensif menjadikannya lebih mirip pasukan penjajah ketimbang kaum pejuang. Tak ada beda antara gerakan ini dengan pemerintah Bush yang mengeluarkan doktrin "aneh" preemptive strike. Mungkin di sinilah, mengapa sebutan "teror" dan "teroris" jauh lebih tepat ketimbang sanjungan "pahlawan" dan "syahid". Sementara itu, anarkisme membuat gerakan ini tak memedulikan norma dan etika berperang, yang Islam tetapkan secara terperinci.

Sementara istilah "perang Islam" menempatkan perang -yang dikenal sebagai sesuatu yang paling merusak dan menghancurkan- dalam bingkai nilai-nilai Islam.
Perang hanyalah sebuah metode untuk menegakkan keadilan dan membebaskan manusia dari ketertindasan. Sebagai sebuah metode, ia memiliki beberapa konsekuensi: (1) dapat digantikan dengan metode-metode lain yang dipandang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi aktual; dan (2) harus diatur dalam seperangkat etika dan norma sehingga tidak lantas menjelma menjadi "kanker" yang memangsa tuannya sendiri.

Jika "Islam perang" memunculkan teror dan teroris, "perang Islam" justru melahirkan kemerdekaan dan para pahlawan yang terus dikenang sebagai syahid. Hal itu karena "perang Islam" tidak hendak memenangkan wilayah dan kekuasaan apalagi menebar kengerian dan ketakutan, tetapi memenangkan hati manusia.

Satu lagi karakter penting yang dimiliki "perang Islam" adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari pertumpahan darah dalam menyelesaikan segala permasalahan. Jika dapat dilakukan, sedapat mungkin dialog dan gencatan senjata diutamakan meskipun potensi kecurangan dan pengkhianatan atas suatu kesepakatan selalu saja ada.

Jelaslah bahwa Islam bukan gerakan ofensif dan anarkis. Perang dalam Islam
hanyalah sebuah mekanisme pertahanan. Walaupun terpaksa harus berperang, dalam
salah satu etika perangnya, Islam melarang merusak pepohonan dan membunuhi hewan-hewan ternak -sesuatu yang tampaknya lebih daripada cukup untuk mengilustrasikan betapa amoralnya para pelaku terorisme yang membiarkan perempuan, anak-anak, dan manusia yang tak berdosa meregang nyawa akibat aksi mereka.

Dari ketiga "prestasi" tersebut, Khawarij benar-benar "pelopor" yang melahirkan "kekeliruan -kalau bukan kebodohan- atas nama Islam" yang berujung pada "kekerasan atas nama Islam". Dalam konteks "fitnah besar", frase "atas nama Islam" harus dengan jelas disebutkan untuk membedakan mereka dengan Mu'awiyah dan para tuan tanah Quraisy. Yang terakhir tegas-tegas menyebutkan bahwa mereka memerangi Ali atas nama kebanggaan klan dan demi merebut kembali hak-hak istimewa yang mereka nikmati sebelum lahirnya Islam.

Siapa Menabur Angin

Persoalannya kemudian, apakah hanya karena kekeliruan, Khawarij berani menentang
Ali, satu-satunya figur sahabat Nabi terpercaya yang masih tersisa saat itu?
Pertanyaan ini pantas diajukan karena melihat beberapa fakta yang seringkali terabaikan dalam analisis mengenai lahirnya Khawarij.

Pertama, dalam beberapa khotbahnya yang ditujukan secara khusus kepada kelompok
pembangkang tersebut, Ali secara eksplisit menyebut Khawarij pada awalnya termasuk di antara mereka yang mendukung diterimanya arbitrase (lihat Nahj al-Balâghah, edisi Indonesia [Penerbit Lentera], khotbah no. 36, 121, dan 126).
Fakta ini menunjukkan perubahan sikap Khawarij yang ekstrem dari pendukung gigih
arbitrase menjadi penentang keras arbitrase. Apa yang tersembunyi di balik semua ini?

Kedua, adanya sosok misterius dan kontroversial Asy'at bin Qais. Sosok ini tidak banyak disebutkan sekalipun berperan penting dalam menciptakan perpecahan di kubu Ali. Asy'at-lat yang giat memprovokasi para pendukung Ali untuk menerima tawaran arbitrase. Upaya ini berhasil membelah kubu Ali menjadi dua kelompok:
pendukung arbitrase dan penentangnya, sehingga melemahkan kekuatan Ali dan
menguntungkan Mu'awiyah.

Bagi para sejarahwan, Asy'at lebih tampak sebagai agen Mu'awiyah yang disusupkan ke pihak Ali ketimbang sebagai pendukung Ali. Dialah sosok oportunis tulen karena setelah itu diriwayatkan menerima sejumlah kekayaan dari Mu'awiyah. Apa yang tersembunyi di balik semua ini?

Berdasarkan kedua fakta di atas, analisis Thaha Husain dalam al-Fitnah al-Kubra mengenai periode "fitnah besar" itu layak diperhatikan. Thaha Husain menulis, "Akibat politiknya (Khalifah Usman bin Affan) ialah bahwa hanya beberapa orang yang menjadi pemilik kekayaan besar. Setiap kapitalis memikat orang lain ke arahnya melalui kekayaannya, menyusun kelompok pengikutnya, dan mulai berpikir untuk menjadi penguasa. Orang-orang semacam ini berusaha mengambil keuntungan dari perpecahan rakyat... Sejarah Islam menunjukkan bahwa pertikaian pertama-tama muncul dari kalangan kaya."

Thaha Husain tidak sedang membuat teori konspirasi. Analisisnya didasarkan pada riset terhadap banyak riwayat yang otentik. Tentu saja bukan hal mudah menemukan bukti-bukti yang telanjang mengenai persekongkolan di tengah kekisruhan tersebut. Namun, fakta-fakta di atas tampaknya cukup menjelaskan ketidakmustahilan peran Mu'awiyah dalam memunculkan kelompok radikal, macam Khawarij. Apalagi jika melihat Mu'awiyah ternyata tidak pernah benar-benar ingin mengungkap "tragedi pembunuhan Usman" -sesuatu yang dijadikannya isu sentral untuk menyerang Ali, sulit bagi kita untuk menutup mata dari adanya rekayasa memunculkan Khawarij.

Dari konteks "pertarungan" global kontemporer antara "jihad" dengan "perang melawan terorisme", analisis Thaha Husain menarik untuk diperbandingkan dengan analisis Baudrillard dalam esainya, The Violence of Global. Baudrillard mengisyaratkan bahwa para teroris kontemporer, baik disadari ataupun tidak, merupakan kolaborator kaum globalis (today's terrorism is the contemporary partner of globalization). Menurut Baudrillard, globalisasi bukan hanya melahirkan homogenisasi yang mapan tetapi juga "fragmentasi tiada akhir" (an endless fragmentation).

"Fragmentasi tiada akhir" dibutuhkan para evangelis "Tata Dunia Baru" untuk memperlemah kekuatan serta menyelubungi kesadaran masyarakat manusia. Salah satu
upaya menciptakan fragmentasi adalah menciptakan "musuh-musuh" yang memberi
mereka justifikasi untuk menarik seluruh dunia ke dalam kancah konflik yang tak berkesudahan.

Fakta-fakta berkaitan dengannya begitu terang hingga mungkin terlewatkan.
Melalui dusta demi dusta, publik dunia dipaksa untuk melupakan fakta keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam mengembangbiakkan kamp-kamp pelatihan militer, salah satunya seperti di Mindanao yang menjadi inkubator para teroris Indonesia (lihat laporan investigatif The Manila Times edisi 29-31 Agustus 2002 tentang peran agen khusus CIA, Michael Terrence Meiring yang menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh kelompok Abu Sayyaf). Belum lagi, jika mau menimbang secara kritis sosok Osama bin Laden, saudagar minyak yang dulu punya hubungan dekat dengan keluarga Bush, lagi-lagi kita sulit untuk menghapus rekam jejak konspirasi Internasional dalam meradikalisasi kelompok-kelompok Muslim.

Sejarah memang selalu berulang. Siapa menabur angin ternyata tak lantas menuai badai. Angin itu mungkin pada awalnya akan menerpa mereka yang lugu dan tak sadar telah dijadikan kaki-tangan. Namun, bukankah lambat laut angin membesar menjadi badai. Dan badai inilah yang akan dituai para penabur angin.[]
(Oleh: Irman Abdurrahman)

Siapakah ? Kelompok Wahabi penyerang Tanah Batak ! (1)

Pendahuluan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mencoba menganalisa fenomena yang tercipta oleh tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan "Tuanku Rao", betapa kejamnya Silom bonjol / Islam(Wahabi) yang bermazhab Hambali meluluh lantakkan tanah Batak khususnya Batak Toba. Banyak sudah pemikir-pemikir yang berkopeten dibidangnya mengulas tentang tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan, ada yang pro dan ada yang membantah kevalitan tulisan tersebut .
Terlepas dari itu semua saya mencoba menguraikan siapakah sebenarnya Wahabi yang dimaksud, Namun sebelumnya dibawah ini sekilas saya paparkan secara singkat isi daripada tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan tersebut:

Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.
Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti).
Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan
terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa
pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
GerakanWahabi di Indonesia

Perlu kita mengetahui perkembangan wahabi di Indonesia
SEKIAN lama kita disuguhi informasi dari penelitian kaum orientalis bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13, berpatokan pada fakta negara Muslim pertama muncul pada abad itu di Pasai, kini masuk Provinsi NAD. Ini suatu program terselubung imperialis Barat untuk mengecilkan peran Islam di Indonesia. Professor Hamka dalam Seminar Masuknya Islam di Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 bersamaan dengan agama tersebut masuk ke Cina. Walau pembentukan kekuasaan Muslim kemungkinan besar terjadi pada abad ke-13 namun hubungan antara penduduk Nusantara dengan perantau Muslim telah terjadi sejak abad ke-7.
Ini tak mengherankan, karena sejak awal Masehi telah terjadi hubungan antara dunia Barat dengan dunia Timur. Hubungan tersebut mencakup darat dan laut, jalur darat dikenal dengan sebutan Jalur Sutera, jalur panjang dari pesisir Laut Mediterania hingga kota Changan (kini Xian) di Cina. Adapun jalur laut terentang dari pesisir Laut Merah dan Teluk Persia hingga pesisir Laut Cina Selatan, terutama kota Kwangchou (Kanton atau Guangzhou).
Nusantara terletak pada posisi silang sehingga mustahil tertutup atau menutup diri dari lintas internasional beserta dampaknya. Para perantau asing singgah bahkan ada yang mukim di Nusantara, dengan demikian interaksi dengan pribumi terbentuk. Pribumi Nusantara yang notabene masih primitif- terkesan dengan peradaban yang dimiliki oleh para perantau tersebut. Bangsa Arab, Persia, Cina dan India telah memiliki peradaban canggih jauh sebelum berhubungan dengan Nusantara.
Agama adalah bentuk peradaban yang dibawa ke Nusantara. Pada awal hubungan tersebut, bangsa Cina telah mengenal agama Budha dan Konghucu, bangsa India dengan Hindu dan Budha, Persia dengan Zaratustra serta bangsa Arab dengan agama Hanif.
Walau kini kita mengenal Indonesia sebagai berpenduduk mayoritas Muslim, namun pengaruh kuat pertama sebagai hasil hubungan tersebut adalah Hindu dan Budha. Selama sekitar 1500 tahun kedua agama tersebut tampil dominan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hingga kini pengaruh India belum sepenuhnya lenyap walau Islam meraih mayoritas. Bahkan Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari peranan perantau India, mengingat Islam masuk ke India sejak abad ke-7 dengan cara perdagangan maupun penaklukan. Sejak itu berangsur-angsur kaum Muslim meraih kekuasaan meski minoritas di anak benua tersebut yang mencapai puncaknya pada masa Dinasti Mughal (1526-1858).
Para perantau menempati pemukiman pesisir dan berbaur dengan pribumi. Pada awalnya mereka hanya membahas soal dagang atau ekonomi, kemudian berangsur-angsur membahas yang lain semisal agama.
Sebagai hasil kontak tersebut sekitar abad ke-4 muncul pemerintahan atau tepatnya kerajaan di Nusantara. Adanya pemerintahan menunjukkan bahwa ada suatu keteraturan atau kestabilan tertentu dalam suatu kelompok dan itu termasuk ciri ada peradaban. Seseorang dipilih di antara sekian banyak orang untuk memimpin kelompok yang bersangkutan guna menjamin bahwa keteraturan masyarakat tetap lestari.
Pada awalnya kerajaan dimaksud muncul di Kalimantan dan Jawa, kita mengenal negara tersebut ialah Kutai dan Tarumanegara. Beberapa bukti tertulis dari periode tersebut ada yang sampai kepada zaman kita, yang menunjukan pengaruh dominan dari India. Sejak itu berbagai kerajaan dan peradaban silih berganti tampil di Nusantara. Periode awal tarikh Masehi hingga abad ke-16 sering dinilai sebagai masa klasik Indonesia, mengingat konsep ideal kehidupan yang didamba oleh bangsa Indonesia semisal masyarakat adil dan makmur dan gemah ripah loh jinawi sempat hadir relatif lama pada periode tersebut. Periode ini cenderung dijadikan acuan dalam zaman kini, terlebih dua negara besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit tercakup di dalamnya. Kedua negara tersebut dinilai sebagai puncak capaian prestasi kemanusiaan yang pernah diraih Indonesia.
Waktu berjalan terus, ketika bangsa Arab, Persia dan (sebagian India) masuk Islam maka agama tersebut terbawa ke Nusantara. Mereka meraih simpati warga karena kejujuran dan kebersihannya, minimal wudhu lima kali dan mandi dua kali dalam sehari, berbeda kelak dengan para pendatang dari Eropa pada abad ke-16. Namun hubungan baik tersebut tidak serta merta merangkul pribumi menjadi Muslim secara massal. Rakyat masih terikat dengan rajanya, yang dianggap sebagai tuhan, setengah tuhan atau minimal wakil tuhan. Dengan demikian kelompok Muslim masih terpusat di kota-kota pesisir, sangat sedikit yang menjangkau pedalaman.
Mengingat begitu kuat pengaruh Hindu, Budha dan kepercayaan asli masyarakat Nusantara, para penyebar agama Islam dituntut cermat mencari persaman antara Islam dengan berbagai faham anutan masyarakat, bahkan sadar tak sadar cenderung mencampur adukkan antara Islam dengan faham lainnya. Bagi yang sadar melakukannya, mereka niatkan tidak untuk selamanya namun hanya merupakan proses menuju keislaman yang sejati. Misalnya, selamatan sekian hari untuk si mati dengan kumpul-kumpul di rumah duka dibiarkan berlangsung (untuk sementara) namun mantera diganti doa. Dalam hal arsitektur masjid, mereka tidak serta merta meniru arsitektur Arab namun masih mempertahankan arsitektur Hindu-Budha sejauh tidak menjurus kepada politeisme semisal memasang arca-arca.

Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa faham-faham non Islam yang masih dipertahankan untuk sementara ternyata menjadi berkepanjangan, di luar perkiraan para juru dawah. Kelak sebagai akibat begitu kuatnya pengaruh pra Islam di Nusantara, serta hambatan dawah karena konflik dengan imperialisme Barat, menghasilkan dawah yang tak kunjung rampung dan keislaman yang tak murni, hingga saat ini.
Kesulitan memperkenalkan Islam secara murni berdasar kitab dan sunnah makin bertambah ketika bergerak menuju pedalaman. Hingga saat ini masih terasa perbedaan antara masyarakat pesisir dengan pedalaman, walau pengaruh luar lebih mudah masuk akibat kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Kehidupan pesisir cenderung dinamis karena terbuka terhadap pengaruh luar, adapun pedalaman cenderung statis karena pengaruh luar cenderung terhambat oleh rintangan alam semisal gunung, hutan, sungai atau hewan buas.
Rintangan manusia dapat berbentuk perampokan atau sikap masyarakat yang sudah terbiasa atau merasa nyaman dengan tatanan lama. Untuk itu para juru dawah cenderung dituntut tidak sekadar hafal ayat dan hadits atau berperilaku shalih namun juga harus memiliki berbagai ilmu yang tak lazim beredar di ranah publik, yang lazim dikenal dengan kesaktian atau kekeramatan. Gunanya untuk meyakinkan masyarakat yang dihadapi akan kebenaran atau mutu agama yang dibawanya. Orang-orang demikian lazim disebut wali atau awliya dan shufiy. Dalam sejarah kita, terdapat 9 orang wali yang berperan mengislamkan tanah Jawa dengan sebutan Walisongo. Mereka berusaha menyebarkan Islam dengan benturan sesedikit mungkin dengan faham lama masyarakat.
Masuk abad ke-13 terjadi perubahan menentukan di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara: Sriwijaya runtuh dan Majapahit tampil. Hasrat mempersatukan, atau lebih tepat penaklukan, Asia Tenggara dilaksanakan relatif lebih sukses dibanding Sriwijaya. Wilayah taklukan Majapahit bukan hanya mencakup bekas wilayah Sriwijaya namun juga di luarnya. Puncak prestasi imperium ini terjadi pada abad ke-14 karena memiliki tokoh kuat yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Dengan demikian kota-kota pesisir di mana kaum Muslim bermukim juga di bawah kuasa Majapahit.
Menjelang Majapahit lahir, di sudut utara Sumatera telah terdapat kekuasaan Muslim yang dikenal dengan Kerajaan Samudera Pasai. Posisinya strategis karena tepat terletak di jalur lintas internasional: Selat Malaka! Banyak perantau asing yang mukim dan terjadilah percampuran yang menjadi cikal bakal suku Aceh kini. Hingga kini kita masih menjumpai wajah-wajah mirip Arab, Keling, Cina dan Eropa di provinsi tersebut. Tidaklah berlebihan jika ada yang menyebut Aceh adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, Hindustan.
Kerajaan ini tidak sempat menikmati masa jaya berlama-lama, pasukan Majapahit merebutnya pada abad ke-14 dan pada abad ke-15 tersaingi oleh Kesultanan Malaka (1400-1511). Penaklukan oleh Portugis mengakhiri riwayatnya pada 1521, namun peran negara ini bagi dawah Islam tak dapat diremehkan. Beberapa ulama Pasai bahkan merintis kekuasaan Muslim di Jawa, yang sering disebut adalah Syarif Hidayatullah. Dia menjadi tokoh penting dalam Kerajaan Demak dan kelak menjadi leluhur raja-raja Banten, Jayakarta dan Cirebon.
Bersambung -------2

Siapakah ? Kelompok Wahabi penyerang Tanah Batak ! (3)

Diatas telah jelaskan bahwa kelompok paderi adalah kelompok Islam yang menganut paham Wahabi dan bermazhab Hambali. Saya akan mencoba menggambarkan tokoh dibalik penyebaran paham wahabi disumatera khususnya di Sumatera Barat.



Tuanku Nan Renceh

Sumber: H.J.J.L. Ridder de Stuers, De vestiging en uitbreiding den Nederlanders ter Westkust van Sumatra, Deel 1, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849: menghadap hlm. 92

Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat radikalisme agama. Di awal abad ke-19, demikian catatan sejarah, dekadensi moral masyarakat Minang sudah tahap lampu merah. Golongan ulama kemudian melancarkan gerakan kembali ke syariat, membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui dakwah dan pengajian. Namun, kemudian muncullah seorang yang radikal dan militan di antara mereka: ia bersama pengikutnya memilih jalan kekerasan. Akibatnya, pertumpahan darah antara sesama orang Minangkabau tak terhindarkan, yang menorehkan lembaran hitam dalam sejarah Minangkabau. Siapa lagi ulama yang radikal itu kalau bukan Tuanku Nan Renceh.
Ingat nama Tuanku Nan Renceh, ingat pada Perang Paderi. Dialah panglima Paderi yang paling militan dan ditakuti. Sosoknya tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak data historis mengenai dirinya. Hanya ada catatan-catatan fragmentris yang terserak di sana-sini. Tulisan ini mencoba merekonstruksi sosok Tuanku Nan Renceh berdasarkan berbagai catatan tersebut, baik yang berasal dari sumber asing (Belanda) maupun dari sumber pribumi sendiri.
Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam. Kurang jelas kapan persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1870-an. Tak ada catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat (lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: DBP, 2002).
Menurut SKSJ (yang ditulis sebelum tahun 1829), di masa remaja Tuanku Nan Renceh, di darek (pedalaman Minangkabau) muncul seorang lama berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Angkat. Banyak orang belajar agama kepadanya, yang datang dari berbagai nagari di Minangkabau, termasuk pemuda (Tuanku) Nan Renceh. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang sebaya dengan Tuanku nan Renceh antara lain Fakih Saghir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang kontroversial, Tuanku Rao ([Djakarta]: Tandjung Pengharapan, [1964]:129) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh juga belajar agama Islam ke Ulakan.
Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif berdakwah bersama sahabatnya, Fakih Saghir. Mereka “berhimpun…dalam masjid Kota Hambalau di nagari Canduang Kota Lawas” (Kratz & Amir: 23). Mereka telah berdakwah selama empat tahun lamanya sebelum kemudian Haji Miskin (salah seorang pencetus Gerakan Paderi) pulang dari Mekah pada tahun 1803 (ibid.:25). Berarti, paling tidak Tuanku Nan Renceh, yang waktu itu masih seorang ulama muda, sudah aktif berdakwah sejak tahun 1799, beberapa tahun sebelum gerakan Paderi resmi dimulai oleh Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang.
Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat bersinar, dan itu karena satu hal: sikapnya yang sangat radikal dan militan. Ia segera melibatkan diri sepenuh hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang Negeri Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari sana. Tak ada bukti bahwa Tuanku Nan Renceh pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Tapi sudah biasa terjadi dalam soal Islam bahwa pendengar jadi lebih fanatik daripada yang mengalami sendiri pergi ke Mekah.
Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan perang Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, Magek, dan Kota Baru. Ia dan pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu menderita. Tarup (lumbung padi) dan rumah dibakar, penduduk yang melawan dibunuh atau ditawan. Fakih Saghir dalam SKSJ menggambarkan aksi bengis pasukan Tuanku Nan Renceh ketika menyerang nagari Tilatang: “Maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah [orang] berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan [wanita] dijadikannya gundi’nya [gundiknya]”. Yang melakukan perbuatan kejam itu kebanyakan pengikut Tuanku Nan Renceh dari Salo, Magek, dan Kota Baru, sehingga pihak lawan menghina mereka dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz & Amir: 37), sebab perbuatan mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang.
Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, kurus, bertabiat bringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam “De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië [selanjutnya TNI] 2-1, 1839: 28-45, 90-111, 131-154, hal. [141]): rambut dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi ‘pakaian’, sorban dan jubah panjang hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong merah yang digatungkan di leher (ini hanya khusus buat ulama/panglima Paderi) (lihat ilustrasi).

Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847, terj. Lilian D. Tedjasudhana. Jakarta INIS, 1992: 158). Dengan begitu, Tuanku Nan Renceh cepat mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.
Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).
Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan: Tuanku Nan Renceh membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan, yaitu Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Kota Hambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Bansa dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kratz & Amir: 39). Mereka memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron (imam besar) yang baru, yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun beberapa kali berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang ditempuhnya bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam SKSJ, upaya pembunuhan itu gagal.
Seperti diuraikan oleh seorang penulis berinisial v.D.H. dalam artikelnya “Oorsprong der Padaries (Eene secte op de Westkust van Sumatra)” (TNI 1.I, 1838: 113-132), Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya yang militan kemudian menjadi lebih terkenal, meredupkan pamor kelompok moderat (Tuanku Nan Tuo dan pengikutnya). Dalam tahun 1820-an, pengikut golongan radikal itu makin banyak di Luhak Nan Tigo. Mereka mewajibkan kaum lelaki memelihara jenggot, yang mencukurnya didenda 2 suku [1 suku = 0,5 Gulden); memotong gigi didenda seekor kerbau; lutut terbuka didenda 2 suku; wanita yang tidak pakai burka didenda 3 suku; memukul anak didenda 2 suku; menjual/mengkonsumsi tembakau didenda 5 suku; memanjangkan kuku, jari dipotong; merentekan uang didenda 5 shilling; meninggalkan shalat pertama kali didenda 5 suku, jika mengulanginya dihukum mati (lihat: B.d., “De Padries op Sumatra”, IM 2e Twaalftal, No. 5&6, 1845 [1827]:167-180, hal.172).
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang waktu itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum Paderi yang dibidani oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815.
Namun saya tidak menemukan data sejarah yang menunjukkan bahwa Tuanku Nan Renceh pernah berhadapan langsung dengan Belanda di medan pertempuran. Dalam penyerangan ke Kamang pada 1822 Belanda hanya berhadapan dengan pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Gapuak. Catatan-catatan fragmentaris dalam dokumentasi Belanda terhadap Tuanku Nan Renceh lebih didasarkan atas cerita-cerita orang Minang sendiri, bukan dari pertemuan langsung dengan panglima Paderi itu. Harap dicatat bahwa apa yang terjadi di pedalaman Minangkabau tetap masih gelap bagi orang Eropa sampai akhirnya Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Pagaruyung pada 16-30 Juli 1818. Sebelumnya, orang Inggris dan Belanda di pantai memang mendengar ada perseteruan antarsesama orang Minang di pedalaman, tapi mereka hanya dapat kabar berita dari para pedagang yang pergi ke pantai tanpa menyaksikan sendiri dengan mata-kepala mereka apa sesungguhnya yang terjadi di pedalaman. Mungkin karena itu pula sampai akhir hayatnya, sosok Tuanku Nan Renceh tetap lebih banyak mengandung misteri, sebab tak banyak sumber Belanda yang mencatatnya.
[Vigelius] dalam “Fragmenten eener beschrijving van Sumatra’s Westkust.” (TNI 13.II, Afl.7, 1851: 7-16, hal.11) dan E. Francis dalam Herinneringen uit den levensloop van een ‘Indish’ Ambtenaar van 1815 tot 1851, Vol.3 (Batavia: H.M. van Dorp, 1859, hal. 73) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh wafat tahun 1832 di ‘Medjang’, sebuah desa dalam wilayah Laras Bukit, Luhak Agam (mungkin yang dimaksud adalah desa Mejan di Kamang). Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh wafat karena sakit: “Kemudian daripada itu maka tersebut pula perkataan [berita; Suryadi] Tuanku Nan Renceh dapat sakit. Dengan takdir Allah taala tidak berapa lamanya dalam sakit itu dan berpulanglah [ia] ke rahmatullah adanya” (Naskah hal.58 dalam Sjafnir Aboe Nain [tansliterator], Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM, 2004, hal. 48). Pada tahun wafatnya Tuanku Nan Renceh, pusat Gerakan Paderi sudah pindah ke Bonjol, dengan pemimpin utamanya Tuanku Imam Bonjol, salah seorang panglima Paderi yang ‘dibesarkan’ oleh Tuanku Nan Renceh sendiri.
Tahun-tahun berikutnya Benteng Bonjol dikepung Belanda, hingga akhirnya jatuh pada 17 Agustus 1837. Sumber-sumber pertama (bronnen) yang mencatat pengepungan itu pada tahun-tahun terakhir sebelum Bonjol jatuh dapat dibaca dalam karya Gerke Teitler, Het einde Padri Oorlog: het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber]. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004). Di dalam buku itu antara lain terdapat “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hal.59-183). Dalam laporan itu dicatat pergerakan harian pasukan Belanda mendekati bonjol. Laporan itu dihiasi dengan banyak sketsa mengenai sistem pertahanan Kaum Paderi.
Sulit untuk dibantah bahwa sepak terjang golongan radikal dalam Kaum Paderi yang dibidani Tuanku Nan Renceh telah semakin memperkuat keinginan Kaum Adat untuk minta bantuan kepada Belanda, karena mereka betul-betul merasa dihinakan oleh orang-orang yang masih satu sukubangsa dengan mereka sendiri.
Tuanku Nan Renceh adalah sosok kontroversial: seorang penganjur agama Islam tapi dalam melakukan misinya sudah melewati dogma-dogma Islam sendiri. Tangannya terlalu banyak berlumur darah sudara-saudaranya sendiri sesama orang Minang. Masih untung kekeliruan ini akhirnya disadari oleh Tuanku Imam Bonjol, ulama Paderi penerus Tuanku Nan Renceh (lihat Sjafnir Aboe Nain, op cit., hal. 39, Naskah). Jika Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya tidak bersikap radikal, mungkin jalan sejarah Minangkabau (Perang Paderi) akan jadi lain.
(Bersambung......4)

Siapakah ? Kelompok Wahabi penyerang Tanah Batak ! (2)


Ini adalah foto Rumah Nabi Saw dan Sayyidah Khadijah as, tempat mereka berdua tinggal selama 28 tahun. Inilah bukti penghancuran yang dilakukan oleh Wahabi-Salafy terhadap situs-situs sejarah Islam.
Masuk abad ke-15, Majapahit dilanda perpecahan intern bahkan terjerumus dalam perang saudara. Banyak anggota monarki yang lari dari Jawa di antaranya Parameswara yang kelak membangun Kerajaan Malaka. Kelak kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Peristiwa ini merupakan periode menentukan bagi Asia Tenggara, kawasan ini masuk perioda kolonial, yang dampaknya masih ada hingga kini
Sejarah berulang di Indonesia, persekongkolan anti Islam terbentuk. Dawah Islam menghadapi dua front sekaligus: kekuatan pra Islam (tepatnya paganis) dengan salibis. Mirip dengan persekongkolan terselubung Bizantium-Persia melawan Muslim di Arabia pada abad ke-7 dan persekongkolan Eropa dengan Mongolia menghancurkan Kerajaan Abbasiyyah di Iraq pada abad ke-13.
Demak, yaitu negara Muslim pertama di Jawa mungkin sekaligus yang pertama menghadapi persekongkolan tersebut. Tersebut riwayat bahwa Majapahit mengirim utusan ke Malaka yang ketika itu sudah direbut Portugis. Di Jawa Barat, Kerajaan Pajajaran sudah membuat perjanjian yang mengizinkan Portugis memiliki pangkalan di Sunda Kelapa. Tiada pilihan selain melawan ketiga fihak tersebut sekaligus.
Ekspedisi Demak bergerak ke barat dan ke timur, ke barat hingga menyentuh Selat Sunda dan ke timur sejauh Pasuruan. Syarif Hidayatullah sukses mengunci pesisir utara Jawa Barat, yang merupakan incaran Portugis. Dari ketiga wilayah tersebut di atas Islam tersebar ke se antero Jawa Barat.
Ke arah timur ekspedisi dipimpin langsung oleh sultan sendiri, namun terjadi kericuhan dan sultan tewas. Peristiwa tersebut berakibat perang saudara yang mengakhiri kesultanan tersebut. Beberapa anggota keraton lari di antaranya ada yang membentuk Kesultanan Palembang.
Penulis tidak bermaksud mengisahkan dengan lengkap penyebaran Islam di Indonesia. Kisah di atas disajikan untuk memberi pemahaman kepada pembaca betapa berat dawah Islam di negeri ini. Dampaknya adalah dawah Islam di Indonesia adalah kerja yang tak kunjung rampung. Kaum Muslim tersebar hingga ke pelosok dan hal itu mempersulit da�wah demi pemahaman yang utuh dan tepat tentang Islam. Belum lagi hambatan dari manusia-manusia yang tak senang dengan dawah Islam, berakibat dawah menjadi ngos-ngosan: sangat menguras tenaga, waktu, harta bahkan nyawa.
Hubungan antara dunia Barat dengan Nusantara yang didominasi konflik militer sejak abad ke-16, dan baru berkurang pada awal abad ke-20, banyak merusak aset umat semisal pesantren dan masjid. Banyak ulama dan santri yang tewas, hilang atau ditangkap dengan akibat umat kehilangan pembimbing. Pemahaman dan tentu pengamalan agama yang masih sedikit membuka peluang percampuran dengan berbagai faham non Islam semisal syirik, bidah, taqlid dan khurafat. Ini menjadi tantangan berat bagi gerakan dawah yang menuntun ke pemahaman agama yang murni berdasar kitab dan sunnah hingga zaman kini.
Di bagian lain dunia Muslim keadaan nyaris tak berbeda. Penyimpangan dan perpecahan di dalam serta penjajahan dari luar berangsur-angsur merambah nyaris ke seantero dunia Muslim. Telah penulis jelaskan, faham yang menyimpang juga turut menghiasi Arabia, jantung dunia Muslim. Tepatlah hadits yang bernada ramalan nasib kaum Muslim disertai penyebabnya:
Kelak kalian akan jatuh hina, kalian bagai menu yang terhidang di meja yang diperebutkan oleh umat-umat lain. Para sahabat bertanya, Apakah karena jumlah kami sedikit ya rasul? Rasul menjawab, Tidak! Kamu bahkan banyak bagai buih di lautan namun kalian terjangkit al-wahnu. Tanya sahabat lagi, Apakah itu al-wahnu? Jawab rasul, Cinta dunia takut mati, Tuhan cabut rasa takut dari musuh-musuh kalian dan memberikannya kepada kalian.
Bagai buih di lautan merupakan sindiran bahwa kaum Muslim kelak menjadi banyak namun ringan, tegasnya tidak bermutu. Kaum Muslim menjadi umat terbelakang dan terpecah, mudah terombang-ambing oleh permainan musuhnya. Bagai menu yang terhidang di meja dan diperebutkan merupakan sindiran bahwa sebagian besar wilayah kaum Muslim kaya sumber alam, wilayah luas dan letak strategis, namun gagal mengelolanya. Hal tersebut mengundang nafsu musuh Islam untuk merebutnya.
Ketika kaum Muslim Indonesia berjuang melawan imperialis yang bersekongkol dengan paganis, dan berangsur-angsur merebut wilayah ini sepotong demi sepotong, hadirlah faham Wahhabi yang dibawa oleh orang-orang yang kebetulan sempat hadir di Haramayn ketika gerakan tersebut sedang panas-panasnya. Walaupun kelompok berfaham Wahhabi sulit diketahui jumlahnya, insya Allah penulis bahas dua kelompok saja dengan pertimbangan dampak dari gerakan mereka faham Wahhabi masih survive di Indonesia.
A. Gerakan Paderi
Benteng Fort de Kock di Bukittinggi (1826).
Gerakan ini tampil di Sumatera Barat diperkirakan pada awal abad ke-19, dibawa oleh beberapa orang ulama yang kembali dari menunaikan ibadah haji. Mereka konon menyaksikan sendiri kaum Wahhabi sempat merebut wilayah Haramayn, merusak situs-situs yang dikeramatkan atau melarang praktek syirik dan bid�ah dengan topeng ziarah. Mereka terkesan dengan faham Wahhabi dan mencoba membawa ke kampung halaman.
Islam diperkirakan masuk pada awal abad ke-7 di pesisir barat Sumatera, ketika itu sebagian besar umatnya mungkin masih perantau asing semisal Arab, Persia dan Keling. Sekitar abad ke-16 berangsur-angsur Kerajaan Aceh menaklukan pesisir barat sejauh Bengkulu, dengan demikian Islam juga terbawa oleh ekspedisi tersebut.
Pada awalnya konon Islam diterima oleh para tokoh masyarakat semisal datuk dan penghulu. Anggota istana Pagaruyung sekian lama masih bertahan dengan agama Hindu-Budha, hal tersebut sempat menampilkan selisih faham namun dapat diselesaikan dengan semacam kompromi: Yang Dipertuan Agung tetap dihormati secara seremonial atau adat namun kekuasaan yang sesungguhnya tersebar pada tokoh semacam datuk dan penghulu tadi. Belakangan keluarga istana juga menjadi Muslim namun (masih) campur aduk dengan faham non Islam.
Waktu berjalan terus, ulama-ulama tampil silih berganti semisal Syaikh Burhanuddin yang bermakam di Ulakan. Di sela-sela konflik dengan imperialis Barat, terdapat ketegangan antara ulama dan kaum adat dalam berebut pengaruh di masyarakat. Dengan demikian ada yang menilai bahwa Perang Paderi (1821-1837) minimal pada awalnya atau dasarnya� bukanlah perang agama namun perang antar umat beragama, kemudian diberi label atau kemasan agama supaya terkesan bagus.
Setahu penulis, perang agama hanya terdapat pada zaman (para) nabi. Terbilang jelas siapa mumin siapa kafir, perang tersebut dapat dinilai secara hitam-putih. Namun setelah itu agaknya lebih tepat disebut perang antar umat beragama karena motif-motif non agama turut campur.
Sebagai contoh, perang salib yang dikobarkan oleh Eropa terhadap kaum Muslim tidaklah murni bermotif agama, motif mencari keuntungan duniawi cukup menonjol. Para pesertanya bahkan termasuk para pendeta menilai bahwa wilayah Timur terutama Asia Barat dan Afrika Utara sangat strategis karena terletak di posisi silang jalur lalu lintas laut.
Mereka juga menilai bahwa dunia Timur jauh lebih makmur dan canggih dibanding Eropa, hal tersebut mereka ketahui dari rekan-rekan mereka yang berziarah ke Palestina, Suriah atau Mesir. Kita semua tahu bahwa wilayah tersebut juga terdapat tempat-tempat suci untuk kaum Nasrani, khususnya al-Quddus al-Syarif (Yerussalem). Ketika beberapa waktu mereka menetap di wilayah Muslim yang direbut, mereka berangsur-angsur berkurang fanatismenya dan pelan-pelan membina hubungan ekonomi dengan kaum Muslim.
Perang salib bukanlah perang yang terjadi tanpa henti namun justru ada bagian waktu yang cukup lapang perdamaiannya. Kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim hidup rukun. Hal tersebut dimanfaatkan banyak peserta perang salib untuk berdagang. Berangsur-angsur pula kaum Nasrani Eropa meniru gaya hidup Timur yang ketika itu jauh lebih beradab dibanding Barat.
Perang Paderi boleh dinilai sebagai puncak ketegangan atau konflik antara ulama dengan kaum adat. Aktivis Paderi menilai bahwa keislaman masyarakat Minangkabau terbilang jauh menyimpang dari kitab dan sunnah, mereka mencoba membawa masyarakat kembali ke rel-nya. Kebiasaan minum tuak, adu ayam dan isap candu cukup merata di wilayah tersebut.
Gerakan Paderi kelak menampilkan tokoh yang dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol (1775-1864). Dia memimpin gerakan tersebut hingga akhir perang walaupun bukan termasuk kelompok ulama yang pertama membawa faham Wahhabi tersebut di atas.
Mengenai istilah paderi ada dua macam pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari Pedir, kota pelabuhan di Aceh tempat singgah dalam perjalanan haji terutama dari Minangkabau. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut berasal dari kata Belanda priester atau juga padre yang sesungguhnya berarti pendeta atau tokoh agama dalam Nasrani. Ini mungkin disebabkan ketika itu belum ada terjemahan tepat dalam bahasa Belanda untuk istilah ulama.
Gerakan Paderi tampil ketika Minangkabau minimal secara teoritis berada dalam apa yang disebut interregnum Inggris (1795-1819). Dari pangkalan di bengkulu, Inggris mengambil wilayah jajahan Belanda di pesisir barat Sumatera sejauh Natal. Letnan Gubernur Jenderal Sir Stanford Thomas Raffles mencoba menjalin hubungan dengan gerakan tersebut, untuk mencegah pedalaman jatuh ke tangan Belanda. Harap diketahui, sejak Belanda tepatnya organisasi dagang VOC bercokol di Minangkabau sejak 1660 hingga 1795, hanya pesisir yang dikuasainya.
Raffles terkesan dengan Minangkabau, namun sadar bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah tersebut kepada Belanda setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan. Raffles berusaha supaya pedalaman berada di bawah Inggris. Usaha merangkul Paderi tersebut tidak berkelanjutan. Tanpa sadar, justru penjelajahan Raffles sejauh Simawang membuka jalan bagi Belanda kelak untuk merambah pedalaman. Ketika Belanda hadir kembali, benteng Simawang diambil Belanda karena berdasar perjanjian Belanda-Inggris perihal tukar menukar wilyah jajahan, wilayah tersebut adalah jajahan Inggris. Dari Simawang itulah, Belanda memulai perang dengan Paderi.
Selama interregnum tersebut, gerakan Paderi memanfaatkan peluang menaklukan pedalaman. Namun sayang, sikap keras yang dipraktekkan berakibat gerakan tersebut cukup punya banyak musuh. Tersebutlah riwayat, terjadi pertumpahan darah keluarga ningrat oleh aktivis Paderi. Yang lolos segera ke Padang dan minta perlindungan Belanda. Segera saja Belanda menyodorkan perjanjian penyerahan Minangkabau� dan disetujui oleh para pengungsi tersebut. Dengan perjanjian tersebut Belanda merasa sah menaklukan seluruh Minangkabau karena disetujui oleh apa yang dinilai sebagai �wakil rakyat.
Perlu diketahui pula bahwa Belanda yang dimaksud bukan lagi VOC, namun pemerintah Hindia Belanda dengan tetap mempertahankan jabatan gubernur jenderal- sebagai wakil Kerajaan Belanda di Nusantara. Sejak 1799 VOC dibubarkan, segala hutang piutangnya diambil alih pemerintah Belanda.
Perang Paderi berakhir dengan ditangkapnya Imam Bonjol saat berunding, setelah beberapa kali pindah tempat pengasingan dia wafat di Manado.
Gerakan Paderi telah ditumpas namun fahamnya tidak. Faham Wahhabi tetap hidup dengan nama lain semisal Kaum Muda. Berbagai organisasi intelek lain di Minangkabau muncul bagai jamur tumbuh di musim hujan pada awal abad ke-20, tidak hanya berasas agama, namun juga gerakan politik dan ekonomi untuk memberi pencerahan kepada rakyat, sedikit banyak terilhami dari gerakan Paderi.
Organisasi berfaham Wahhabi lain yang lahir di Jawa yaitu Muhammadiyah juga mendapat pengaruh kuat di Minangkabau. Jika sejak 1998 bangsa ini begitu mengenal gerakan reformasi yang sukses melengserkan (atau melongsorkan?) firaun Soeharto, maka hal tersebut sesungguhnya telah dimulai di Minangkabau. Gerakan Paderi bukan hanya berjuang mempertahankan nilai-nilai lama dari pengaruh buruk imperialis, namun juga membuka pencerahan atau cakrawala baru pemikiran untuk menjawab tantangan atau perubahan zaman yang memang memerlukan jawaban-jawaban baru pula. Sekadar contoh, konsep dawah dengan perbuatan (dawah bil haal) yang sempat populer disebut-sebut di Indonesia pada 1980-an ternyata telah dipraktekkan oleh gerakan Paderi. Memang, bukti (perbuatan) lebih meyakinkan dibanding janji (perkataan). Para mubaligh, dai atau apapun sebutannya perlu hadir langsung menjawab kebutuhan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan cuma ceramah atau khutbah. Tentang itu telah tersebut dalam hadits:
Jika kamu bertemu kemunkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tak mampu, ubah dengan lisan. Jika tak mampu, ubah dengan hati (rasa tidak setuju). Namun hal tersebut adalah selemah-lemah iman.
Gerakan Paderi juga berperan menyebarkan Islam ke Bengkulu, Jambi, Riau dan selatan Tapanuli. Niat untuk mengislamkan seluruh Tapanuli gagal karena pertahanan di Minangkabau diganggu Belanda, dan gerakan tersebut ditumpas.
Hasil dari perang tersebut adalah, masyarakat Miangkabau menempatkan minimal secara teoritis agama di atas budaya dengan rumus adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah. Kemaksiatan juga menurun drastis sekian lama setelah perang berakhir.

Keristen Protestan, Islam dan Katholik peranannya dalam melestarikan budaya batak



KATA PENGANTAR:


Peranan Agama sangat besar terhadap pudar tidaknya atau lestarinya budaya Batak, hal ini tidak dapat dipungkiri, berkembangnya dengan penuh kebanggaan suku jawa aka budayanya tidak terlepas dari kemampuan wali-wali mengadaptasikan ajaran agama Islam dengan budaya jawa, yang kemudian disusul dengan agama katolik yang memulai missinya melalui pewayangan
Pelu diketahui setiap suku bangsa di Indonesia sanagat fanatik degan budayanya, hampir boleh dikatakan tidak ada anak suku bangsa indonesia tidak mencintai dan bangga akan budayanya.
Demikian juga halnya anak suku bangsa Batak, apakah dia batak toba/samosir, mandailing ,simalungun, karo dan dairi pakpak maupun Nias dan Gayo alas.
Namu sebelumnya kita perlu mengerti apakah itu Kebudayaan dan Masyarakat.

Pengertian Kebudayaan dan Masyarakat:
 
 
Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. (Horton dan Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut
Kemudian kitapun harus mengerti apa saja fungsi dari kebudayaan itu terhadap manusia dan Masyarakat sbb.

Persatuan Hadiah Besar Rasulullah Kepada Manusia

Persatuan Hadiah Besar Rasulullah Kepada Manusia
Boleh dikata, keberhasilan paling penting Rasulullah Saw adalah menciptakan sebuah masyarakat berdasarkan persatuan dan kasih sayang. Persatuan adalah esensi keberadaan. Demi menciptakan persatuan di lingkungan masyarakat, Nabi mengajak masyarakat Islam untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh. Nabi menyebut kekuatan bangsa-bangsa terletak pada persatuan dan rasa solidaritas antarsesama. Umat Islam yang berpegang teguh dengan nasihat Nabi Saw, selama beberapa abad menjadi pelopor di bidang keilmuwan, peradaban dan kemajuan. Dengan munculnya Islam, pribadi agung Nabi Muhammad Saw menjadi titik pertemuan emosi masyarakat dan pusat masyarakat Islam. Dengan upaya keras yang dilakukannya, Nabi Muhammad Saw menyebarkan persatuan di seluruh dunia. Rasulullah Saw dengan sejumlah metode berhasil menghilangkan sejumlah kendala yang menghambat terciptanya persatuan seperti diskriminasi, pengunggulan etnis dan merasa diri lebih dari yang lain. Bahkan Nabi mengajak para pengikut agama lain untuk bersama-sama menciptakan perdamaian. "Mari kita bersama-sama mengarah pada satu ucapan yang satu antara kami dan kalian. Bahwa kita hanya akan menyembah Allah Yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya. Sebagian dari kita tidak akan menerima tuhan selain Allah Yang Maha Esa."
Masyarakat Jahiliyah Arab hidup dalam kondisi carut-marut disebabkan tidak adanya aturan. Perang, kebodohan, kekafiran dan fanatisme buta kesukuan merupakan ciri khas utama bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Menurut Ibnu Khaldun, "Kabilah-kabilah Arab adalah perampok dan buas serta memiliki sifat ingin menjarah milik orang lain. Apa yang mereka temukan bakal dirampasnya."
Sebagian ahli sejarah terkait sejarah Arab sebelum kemunculan Islam telah mencatat terjadinya 1700 perang di antara mereka. Sebagian dari perang ini malah berlangsung bertahun-tahun antara sejumlah generasi. Kebiasaan perang sedemikian kuat dalam masyarakat Arab, sehingga ketika Nabi Muhammad Saw berbicara tentang perdamaian dan keindahan surga, satu dari orang-orang Arab bertanya kepada beliau, "Wahai Rasulullah! Apakah di surga juga bakal ada perang?" Rasulullah Saw menjawab, "Tidak Ada." Badui Arab ini kembali bertanya, "Bila tidak ada perang di surga, lalu apa artinya surga bagi kami?"
Dalam kondisi sulit seperti ini, Rasulullah Saw memberikan pesan rahmat dan tuntunan ilahi kepada masyarakat Arab. Ketika tiba di Madinah, Nabi mengayomi segala etnis dan suku yang berada di kota ini. Menciptakan persatuan politik dan sosial dilakukan Rasulullah dengan cara melakukan perjanjian di antara suku-suku ini. Apa yang dilakukan beliau merupakan gerakan pentingdemi mengorganisir masyarakat yang lebih beradab dan sempurna. Perjanjian-perjanjian ini merupakan bukti dan dokumen penting strategi Rasulullah dalam menciptakan persatuan Islam di tengah-tengah masyarakat waktu itu.
Sejumlah perjanjian antara Nabi Muhammad Saw dengan sejumlah suku dan kabilah yang ada di Madinah merupakan perjanjian penting, bahkan boleh dikata itu merupakan undang-undang dasar tertulis pertama di dunia. Isi dari perjanjian itu secara jelas menetapkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Sebagian dari butir-butir yang ada dalam perjanjian ini menunjukkan indahnya persatuan. Sebagian dari butir-butir itu seperti; "Umat Islam bersatu menghadapi kezaliman, agresi, konspirasi dan perusakan. Bila muncul perselisihan antara umat Islam, maka rujukan untuk mencari solusi adalah Allah dan Rasul-Nya. Umat Islam tidak akan membiarkan muslim lainnya menanggung sendiri utangnya yang banyak, tapi mereka harus membantunya."
Di bagian lain dari butir-butir perjanjian bersejarah itu terkait hubungan umat Islam dengan Yahudi Madinah disebutkan, "Umat Islam dan warga Yahudi hidup di Madinah seperti umat yang satu dan setiap dari mereka hidup dengan agamanya sendiri. Umat Islam dan warga Yahudi kedua-duanya akan menghadapi musuh yang menyerang Madinah."
Dapat dikatakan bahwa upaya untuk menciptakan titik-titik kesamaan dalam agama merupakan parameter penting yang digunakan Rasulullah Saw demi memberikan solusi bagi terealisasinya persatuan Islam. Rasulullah dalam perjanjian ‘Aqabah yang dilakukan beliau dengan warga Madinah yang dahulunya disebut Yatsrib kepada sejumlah etnis yang lain beliau berkata, "Kalian pilih 12 orang sebagai wakil yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di antara kabilah kalian."
Langkah-langkah konstruktif yang dilakukan utusan terakhir Allah Saw, begitu membuat masyarakat gembira. Ketika para wakil suku-suku Yatsrib bertemu dengan Nabi di dekat tempat bernama ‘Aqabah dan mendengar ucapan beliau tentang persatuan dan kasih sayang, mereka berkata, "Sedemikian hebatnya permusuhan antara suku Khazraj dan Aus, dua kabilah di Yatsrib sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kabilah-kabilah yang lain. Kami berharap Allah Swt menjadikan engkau sebagai perantara yang mampu mendamaikan rakyat kami, kemudian menciptakan persatuan dan kasih sayang di antara mereka."
Rasul Saw membangun kasih sayang di tengah masyarakat Islam dengan memfokuskannya pada iman kepada Allah. Rasul menyebut masyarakat ideal adalah masyarakat yang setiap anggotanya punya hubungan persaudaraan dengan lainnya dan semua punya kewajiban melindunginya agar Allah melanggengkan sarana demi terciptanya persatuan dan kasih sayang. Dengan dasar ini, Rasulullah Saw menyelenggarakan hubungan persaudaraan antara 300 orang muslim.
Nabi dengan perjanjian umum yang dilakukannya di antara warga Madinah berhasil menyebarkan wangi persaudaraan dan solidaritas di seluruh kondisi masyarakat Islam. Seluruh Madinah mendengarkan ucapan-ucapan indah Nabi. Beliau bersabda, "Al-Jama'ah Rahmatun wa al-Furqah ‘Adzabun" yang artinya jamaah dan bersatu itu merupakan rahmat dan berpisah serta berselisih itu adalah azab." Beliau juga bersabda, "Masyarakat mukmin yang merasa bersaudara dan mencintai lainnya sama seperti satu badan. Bila satu anggota badan itu merasa sakit, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya terutama di waktu malam dan demam."
Sekalipun telah berusaha keras untuk menciptakan persatuan di antara umat Islam, tapi Nabi senantiasa khawatir munculnya perselisihan di antara mereka yang pada akhirnya menciptakan kerusakan. Karena kekalahan dan rusaknya hubungan sosial dalam sebuah umat terkait masalah-masalah penting di masa kekacauan prosentasinya semakin besar. Seorang bernama Syits bin Qais pada suatu hari berhasil memprovokasi seorang pemuda Yahudi agar menciptakan perselisihan antara suku Aus dan Khazraj. Perselisihan ini akan mengingatkan orang akan masa Jahiliyah dan akan mengobarkan kebencian lama yang tertanam dalam diri mereka.
Akibat provokasi yang dilakukan, dua kabilah ini kembali menghunuskan pedangnya dan terjadi bentrokan hebat di antara mereka. Nabi Muhammad Saw mendengar berita ini dan melihat kejadian itu. Beliau dengan sigap bersabda, "Wahai umat Islam! Apakah kalian telah melupakan Allah? Kalian kembali menyuarakan yel-yel Jahiliyah, padahal saya masih berada di tengah-tengah kalian. Hal ini kalian lakukan setelah Allah Swt menuntun kalian dengan cahaya Islam, menjadikan kalian bernilai dan membebaskan kalian dari kekafiran?"
Rasulullah Saw dalam pelbagai periode dengan suaranya yang teduh membacakan surat Ali Imran ayat 103 yang berbunyi, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
Ketika bintang cemerlang Islam terbit dan menyebar dengan cepat ke seluruh Hijaz, orang-orang munafik dimasa tidak adanya Nabi Muhammad Saw, membangun sebuah masjid guna mengurangi kekuatan spiritual umat Islam. Dengan alasan melaksanakan shalat di masjid itu mereka ternyata berbicara tentang upaya dan konspirasi yang dapat dilakukan untuk melawan Islam. Suatu hari Nabi Saw kembali ke Madinah dari perang Tabuk. Orang-orang munafik ini meminta kepada beliau untuk shalat di masjid itu sekaligus meresmikannya. Pada saat itu malaikat pembawa wahyu menyadarkan beliau akan rencana licik mereka dan menyebut masjid itu sebagai masjid "Dhirar". Rasul akhirnya memerintahkan untuk menghancurkan masjid itu, demi mencegah munculnya friksi di antara umat Islam agar persatuan Islam tidak rusak.
Dengan demikian, sebagaimana diucapkan oleh Imam Ali as, "Hati orang-orang baik senantiasa tertarik kepada Rasulullah. Berkat keberadaan beliau, Allah Swt menguburkan kedengkian dan memadamkan api permusuhan. Keberadaan Rasul mampu memberikan kemuliaan dan solidaritas bagi umat Islam. Rasul telah membuka jalan-jalan kebahagiaan yang semula tertutup. "(IRIB/SL/RM)