Jumat, 25 Februari 2011

Apa dibalik seruan “Kebebasan Beragama” oleh Keristen??



Doktrin Agutinus (354-430)
Mengutip PROF. DR. H. M. Rasjidi dalam bukunya ”Kebebasan Beragama” bahwa secara historis agama Kristen di Eropa dan Amerika memiliki trauma keagamaan terhadap beberapa aliran dari sekte-sekte mereka sendiri (katolik, protestan, maupun sekte-sekte kristen).

Dalam sejarahnya Kristen telah melewatkan dasar intoleransi sejak abad IV M, yaitu sejak Kristen menjadi agama resmi kerajaan Romawi. Sebagai dasar intoleransi Kristen, Bluntschli S.K. dalam karangannya ”Geschichte des Rechts der relegiosen Bekenntnis Freiheit” menerangkan sebagai berikut: ”Jika kekeliruan itu (yang bukan agama Kristen) menang maka umat Kristen harus mendengung-dengungkan kebebasan beragama. Akan tetapi sebaliknya, jika benar itu (agama Kristen) yang berkuasa, maka sudah semestinya untuk memakai paksaan” inilah yang mereka sebut sebagai Doktrin Agutinus, (354-430).

Dari uraian sebelumnya maka jelaslah bahwa kebebasan beragama adalah ide barat di dalam masyarakat antar Kristen yang bersekte-sekte yang terjadi pada abad ke XVII.

Masjid Syeikh Ali Martaib (Masjid Fiisabilillah) di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Bonatua Tapanuli Utara-Sumatera Utara sudah dibakar tiga kali, hingga saat ini masih terlihat jelas di lokasi sisa puing-puing bangunan kayu yang terbakar. Sampai dengan hari ini tidak satupun pelaku ditangkap apalagi diadili.

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Batak Islam (PBI) mengutuk keras pembakaran masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) pada Jum’at 27 Juli lalu.

“Kami yakin terbakarnya masjid Fiisabilillah tersebut cenderung tindak kejahatan, karenanya Poldasu perlu mengusut tuntas dan menangkap para pelaku pembakaran rumah ibadah itu”, kata Ketua Umum DPP PBI Prof DR H Abdul Muin Sibuea, MPd kepada pers di Medan, Rabu (4/8/2010).

Menurut data BPS 2004, sekitar 87 persen penduduk Toba Samosir penganut Kristen Protestan, Katolik 7 persen, dan Islam 6 persen. Selebihnya adalah agama dan pengangut kepercayaan lain, seperti Parmalim, yang dikenal sebagai agama tradisional Batak.

Toba Samosir adalah kabupaten baru yang mekar dari kabupaten induk, Tapanuli Utara, sejak 1998. Kemudian, Tapanuli Utara kembali dimekarkan dengan terbentuknya Kabupaten Samosir dan Humbang Hasundutan sejak 2003. Semua kabupaten ini dihuni mayoritas etnis Batak Toba-Kristen, lebih spesifik lagi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Masjid Fiisabilillah adalah masjid tertua di wilayah yang pada zaman kolonial dikenal dengan Toba Holbung. Masjid yang kini memiliki jama’ah sekitar 12 kepala keluarga ini hanya berjarak sepelemparan batu dari pinggir jalan lintas barat Sumatera, sekitar 4 kilometer di utara kota kecil Porsea. Kota Porsea dibelah Sungai Asahan, satu-satunya outlet Danau Toba nan indah.

Posisinya terpisah dari pemukiman yang ramai dan berada di areal persawahan. Hanya ada satu warung di dekatnya, persis di seberang, di tepi jalan lintas Sumatera. Masjid tak dialiri arus listrik dan gelap pada malam hari (kemungkinan dibakar sangat besar). Di depannya ada jalan berbatu yang cukup dilalui kendaraan roda empat menuju perkampungan Silombu Bagasan, yang tak begitu ramai.

Pembakaran masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara terjadi pada Jum’at, 27 Juli 2010 sekitar pukul 05.00 WIB dibakar orang tak dikenal (OTK). Berita pembakaran masjid Fiisabilillah tersebut sontak membuat umat Islam kaget, pasalnya pembakaran masjid tidak ter-blow up dan yang paling mengherankan lagi kejadiannya bersamaan dengan pristiwa skandal kebaktian liar jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing-Bekasi yang terus di blow up secara masiv dan berkala oleh media-media nasional untuk menyerang umat Islam yang ada di Ciketing-Bekasi.

Rangkaian peristiwa pembakaran masjid dan pelecehan HKBP terhadap Islam dengan melakukan kebaktian liar sambil mengacau keamanan desa Ciketing, menambah daftar panjang arogansi HKBP baik di Sumatera Utara maupun di Bekasi.
Masjid Syeikh Ali Martaib di Desa Lumban Lobu, Kecamatan Bonatua Tapanuli Utara-Sumatra Utara sudah di bakar tiga kali.

Tahun 1986
Masjid tersebut masih bernama Masjid Fii Sabilillah, dibakar semua karpet dan sajadah di dalamnya.
Tahun 2009
Mushaf-mushaf Al Qur’an dan buku-buku agama dibakar sehingga mengenai mihrab masjid tersebut.
Tahun 2010
Tepatnya 27 Juli 2010 Juma’t pagi menjelang subuh Masjid tersebut dibakar habis oleh Orang Tidak Dikenal (OTK).

Siapa pelakunya? OTK Belum di nketahui atau di sembunyikan? Yang jelas kejadian tersebut di wilayah kaum nasrani yang selama ini tidak senang dan selalu protes terhadap keberadaan masjid tersebut yang sudah berdiri sejak lama. Bahkan terindikasi ada laskar kristus yang bergerak.

Menjadi pertanyaan sekarang dimana suara pemerintah, dimana polisi dan TNI, dimana suara Komnas HAM, dimana suara TV, Radio dan harian Nasional, dimana suara Dewan Pers?

Soal Kebaktian Liar yang di bubarkan oleh umat Islam Bekasi, mereka semua ramai protes, akan tetapi soal pembakaran Masjid mereka bungkam.

Ini baru sekelumit kasus di Sumatra Utara, belum lagi di daerah-dareah yang mayoritas nasrani lainnya yang di dalangi oleh lascar kristus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar